Ada kejutan kecil dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Kamis, 1 Juni, lalu. Hari itu Tjahjo menyampaikan bahwa rektor yang selama ini ditentukan oleh Menteri Riset Dikti, seharusnya penentuannya dilakukan oleh Presiden.
Saat itu Tjahjo tidak menjelaskan secara rinci bagaimana rektor akan dipilih Presiden. Mendagri hanya menyebutkan, proses pemilihan rektor sama seperti pemilihan gubernur.
Tak menunggu lama media memasang langsung headline yang bunyinya nyaris sama: Rektor akan dipilih oleh Presiden.
Belakangan, masih pada hari yang sama, Mendagri memberi penjelasan perihal gagasannya itu. Sambil menyebutkan bahwa rektor merupakan jabatan strategis, Tjahjo menjelaskan bahwa teknis pemilihan rektor sama dengan seperti pejabat eselon I dan Sekda provinsi yang diusulkan kepada Tim Penilai Akhir yang dipimpin presiden. Sangat terkesan bahwa Mendagri bermaksud meralat pernyataannya bahwa rektor dipilih oleh presiden.
Namun kabar bahwa rektor akan dipilih oleh presiden itu terlanjur beredar. Reaksi pun bermunculan. Bahkan isu itu bergerak nyaris bergerak liar.
Sangatlah wajar jika isu tersebut mendapatkan respon negatif dari masyarakat. Dengan mekanisme pemilihan rektor oleh presiden, banyak kalangan kampus mengkhawatirkan kemandirian perguruan tinggi. Penunjukan rektor oleh presiden mencerminkan campur tangan penguasa di dalam kampus.
Campur tangan kekuasaan di kampus, dikhawatirkan oleh kalangan akademisi, akan melemahkan kebebasan berkespresi di lingkungan perguruan tinggi. Hal itu juga akan menghilangkan kemampuan perguruan tinggi sebagai kekuatan penyeimbang.
Sebetulnya kekhawatiran itu agak berlebihan. Mekanisme pemilihan rektor yang saat ini berlaku pun tidak melulu melibatkan internal kampus. Pemerintah mempunyai hak suara dalam pemilihan rektor.
Menurut Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomo1 Tahun 2015, ada 4 tahap dalam pengangkatan rektor. Yaitu, tahap penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan calon, dan pengangkatan.
Tahap penjaringan dan penyaringan calon dilakukan oleh Senat Perguruan Tinggi masing-masing. Tahap penyaringan akan menghasilkan 3 kandidat, yang akan disertakan dalam tahap pemilihan. Dalam tahap pemilihan itulah Menteri Ristek Dikti mulai ikut serta.
Menteri Ristek Dikti mempunyai hak suara 35 persen dalam pemilihan tersebut. Sementara Senat Perguruan Tinggi mempunyai 65 persen hak suara dan masing-masing anggota Senat mempunyai hak suara yang sama.
Jadi, dalam kaitannya keterlibatan pemerintah, tanpa melibatkan presiden pun, mekanisme pengangkatan rektor yang berlaku saat ini pun sudah melibatkan pemerintah cukup besar. Tidak benar-benar independen sebagai urusan internal masing-masing perguruan tinggi.
Gagasan tentang rektor dipilih oleh presiden, menurut Mendagri Tjahko Kumolo, didorong oleh dua hal. Pertama, untuk memastikan semua perguruan tinggi negeri maupun swasta karena mempunyai komitmen sama. Kedua, khawatir ideologi selain Pancasila masuk ke perguruan tinggi.
Terkait kekhawatiran ideologi selain Pancasila masuk ke perguruan tinggi, Tjahjo punya kisah sendiri. Tjahjo menceritakan bahwa pernah ada seorang dekan yang menjadi kandidat pemimpin perguruan tinggi. "Pada saat mau pelantikan, baru ketahuan bahwa dia adalah penganut ISIS," kata Tjahjo seperti dikutip detikcom.
Kalau kejadian tersebut menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong gagasan tentang penunjukan rektor oleh Presiden, hal itu memang terasa berlebihan. Satu dua kasus yang jarang sekali terjadi memang tidak cukup alasan menjadi dasar sebuah kebijakan
Belakangan Tjahjo mengaku bahwa gagasan tersebut barus sebatas usulannya. Belum menjadi keputusan.
Menteri Ristek Dikti M Nasir menegaskan bahwa gagasan tersebut bukanlah ide Presiden, melainkan idenya Mendagri. Istana, lewat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo, juga sudah memberi sinyal bahwa mekanisme pemilihan rektor tidak akan mengalami perubahan.
Ide penunjukan rektor oleh presiden tampaknya tidak akan terwujud. Namun di balik ide tersebut tercermin bahwa pemerintah tampak gugup menghadapi situasi politik dan kebangsaan sekarang. Pemerintah seperti kehilangan kemampuan untuk bersikap tenang dan membuat strategi yang baik dalam menghadapi kecenderungan-kecenderungan gesekan politik yang semakin keras di masyarakat.
Hal itu patut disayangkan. Benarlah bahwa kita patut mengantisipasi menguatnya kecenderungan sikap keras dalam berpolitik dan penyebaran paham dan ide negara yang tidak sejalan dengan konstitusi. Namun kegugupan pemerintah tidak menguntungkan bagi penguatan kepercayaan diri masyarakat untuk meyakini kehidupan yang damai.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/ihwal-rektor-pemerintah-sedang-gugup