Bertahun-tahun kita melihat sebuah kontras. Di satu sisi, begitu banyak orang ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS), aparatur sipil negara (ASN) yang sudah diangkat menjadi pegawai tetap. Orang rela melakukan banyak hal -termasuk bermain kotor- agar bisa menjadi PNS.
Di sisi lain, banyak orang meragukan kepada kemampuan PNS -dan ASN pada umumnya- dalam menjalankan tugasnya. Keluhan masyarakat atas ketidakmampuan ASN dalam memberikan pelayanan yang memadai masih banyak terdengar.
Sikap skeptis masyarakat atas kemampuan ASN dalam bekerja pasti bukan karena ilusi. Pemerintah sendiri mempunyai data yang menunjukkan kualitas PNS belum mampu memenuhi kebutuhan.
Pernah 5 tahun lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) -yang saat itu dijabat oleh Azwar Abubakar- menyatakan bahwa hanya sekitar lima persen PNS pada level staf yang memiliki kompetensi tertentu. Selebihnya, 95 persen, hanya memiliki kompetensi umum.
Itu artinya, 95 persen PNS nyaris tidak mempunyai inisiatif dalam bekerja. Mereka harus menunggu perintah untuk menjalankan tugasnya.
Dalam bahasa Abdullah Hehamahua, yang pada 2010 menjabat Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), "Mereka kalau tidak ada pesanan pekerjaan tidak melakukan sesuatu, sehingga banyak PNS yang datang ke tempat kerja tanpa mempunyai pekerjaan yang jelas."
Apakah kualitas PNS saat ini membaik ketimbang 5 atau 7 tahun yang lalu? Mencermati data yang disampaikan Menpan RB Asman Abnur dalam berbagai pernyataannya, tampaknya ada perubahan dalam kualitas ASN namun belum cukup menggembirakan bagi kita.
Persentase ASN yang tidak mempunyai kompetensi tertentu tidak lagi pada angka 95 seperti yang disebutkan oleh Azwar Abubakar pada tahun 2012. Angka yang disebutkan oleh Asman Abnur antara 60 persen sampai 64 persen"kompetensi ASN kemampuannya hanya juru ketik."
Angka terbaru yang disebutkan oleh Menpan RB Asman Abnur, seperti disampaikan dalam percakapannya dengan detikcom, 62 persen PNS hanya mempunyai kemampuan administratif. Kemampuan administratif itu terbatas kepada menguasai urusan surat menyurat saja.
Dengan keterbatasan kompetensi PNS -dan umumnya ASN tersebut, negara mengalami kerugian untuk dua perkara. Pertama, terkait dengan belanja pegawai. Kedua, terkait dengan kinerja pemerintah itu sendiri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyampaikan bahwa belanja pegawai pemerintah cukup besar. Dari sisi neraca pemerintah pusat, menurut Sri Mulyani, belanja pegawai mencakup 26,1% dari total anggaran belanja pemerintah pusat. Lebih dari seperempat total anggaran itu tentulah jumlah yang besar.
Namun ternyata hal itu masih kalah besar daripada yang terjadi di pemerintahan daerah. Masih menurut Sri Mulyani, ada 131 daerah yang rasio belanja pegawainya lebih dari setengah APBD nya.
Dengan keterbatasan kompetensi ASN, besarnya belanja pegawai tersebut menjadi tidak akan sepadan dengan keluaran yang dihasilkan. Dalam ungkapan sederhana, negara -termasuk para pembayar pajak- telah merugi dengan membayarkan uang kepada pihak yang tidak kompeten.
Keterbatasan kompetensi ASN sudah barang tentu berpengaruh kepada kinerja pemerintah -pusat maupun daerah. Kinerja pemerintah pasti tidak bisa didongkrak oleh SDM yang hanya memiliki kompetensi administrasi saja.
Dengan keterbatasan kompetensi ASN itu, sangatlah masuk akal bahwa nilai Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah rata-rata kabupaten dan kota pada tahun 2016 berada di bawah 50, meski pun naik 2,95 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai evaluasi di bawah 50 itu menunjukkan ranking paling bawah dari kategori penilaian Kementerian PANRB.
Untuk mengukur, menetapkan dan melaporkan kinerja instansi pemerintah, sistem yang dipergunakan saat ini adalah Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah -atau biasa disebut SAKIP. Dengan sistem tersebut pemerintah menggeser orientasi akuntabilitas kinerja dari besaran dana yang telah dan akan dihabiskan ke pencapaian kinerja yang dihasilkan. Orientasi kepada kinerja seperti itu jelas menuntut kompetensi ASN yang memadai.
Mempertimbangkan kondisi yang digambarkan oleh Menpan RB tadi, kita patut mengapresiasi rencana untuk melanjutkan moratorium PNS di bidang administrasi dan pengawasan penempatan PNS di daerah agar sesuai dengan kemampuannya. Kita tidak ingin negara menghabiskan anggarannya untuk menambah pegawai yang kompetensinya terbatas.
Kita berharap pemerintah mempunyai program yang cukup komprehensif untuk menambah dan meningkatkan kompetensi ASN yang ada. Jika program-program itu tersedia, kita harus percaya bahwa ASN yang ada saat ini adalah manusia pembelajar yang baik, yang sigap dan tekun untuk melengkapi dirinya dengan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan.
Pada saat yang sama, kita juga menuntut penyaringan PNS lebih tansparan dan ketat untuk memastikan sumber daya manusia yang terjaring di dalamnya bukan hasil kolusi dan nepotisme, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mendongkrak-kompetensi-pns