Nafsu besar penerimaan pajak, jangan cuma bikin gaduh

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Sejak beberapa bulan lalu program pengampunan pajak sudah selesai. Itu tidak berarti pemerintah tampak melamban untuk menggenjot penerimaan pajak. Pemerintah masih terus menggali potensi penerimaan pajak. Namun seringkali langkah-langkahnya membuat kita terheran-heran.

Selepas program pengampunan pajak itu, misal, pemerintah kembali mengangkat wacana untuk mengintip data transaksi kartu kredit.

Sebetulnya keinginan pemerintah untuk mengintip data transaksi kartu kredit sudah muncul Maret tahun 2016 lalu. Saat itu keluar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016. PMK tersebut merupakan Perubahan Kelima Atas PMK Nomor 16/PMK.03/2013 yang mengatur tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan.

Peraturan itu mewajibkan 23 bank untuk melaporkan setiap data transaksi dan informasi kartu kredit untuk kepentingan perpajakan. Peraturan itu mulai berlaku 22 Maret 2016. Pelaporan oleh ke-23 bank tersebut paling lambat masuk pada 31 Mei 2016.

Pelaporan data transaksi kartu kredit itu merupakan cara alternatif untuk profil belanja wajib pajak orang pribadi (WPOP). Profil belanja itu akan dibandingkan dengan profil WPOP yang tercermin di Surat Pemberitahuan Tahunannya.

Cara ini ditempuh karena pemerintah, seperti disampaikan oleh Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat Menteri Keuangan, "tidak punya akses ke rekening simpanan bank sesuai UU Perbankan."

Bank Indonesia (BI) memberi sinyal lampu hijau atas cara pemerintah untuk memeriksa wajib pajak dengan cara mengintip data transaksi kartu kredit itu. Namun tidak demikian dengan masyarakat.

Masyarakat resah. Jumlah nasabah yang menutup kartu kredit meningkat seiring dengan kebijakan tersebut. BCA, misal, saat itu mencatat lonjakan penutupan kartu kredit 2 sampai 3 kali lipat. Sementara BRI, contoh lain, pada bulan April 2016 -seminggu setelah keluarnya PMK- mencatat 2.400 penutupan kartu kredit. Hal serupa terjadi juga di bank lain.

Upaya pemerintah ini tampaknya gagal. Sampai awal Juni 2016, dari 23 bank yang diwajibkan, hanya 3 bank saja yang menyerahkan data lengkap.

Sebulan kemudian, Juli 2016, pemerintah menyatakan menunda kebijakan itu karena dua hal. Pertama, mau memanfaatkan momentum pengampunan pajak. Kedua, sistem pelaporan data transaksi kartu kredit itu belum siap.

Setelah program pengampunan pajak berakhir, urusan mengintip data transaksi kartu kredit kembali diungkit-ungkit. Dengan dalih bahwa PMK yang terkait belum dicabut atau diubah, pelaporan data transaksi kartu kredit akan dijalankan kembali. Dengan embel-embel, mereka yang sudah mengikuti pengampunan pajak, tidak akan dikenakan pemeriksaan data transaksi tersebut.

Selang beberapa hari saja pemerintah menyatakan akan menunda kembali pelaksanaan pelaporan data transaksi kartu kredit itu. Pemerintah berdalih, akan terlebih dahulu fokus pada pengumpulan data harta terkait dengan pengampunan pajak.

Ada apa dengan pemerintah? Mengapa pemerintah terlihat maju mundur dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri? Hal serupa juga terasa pada kebijakan untuk mengintip rekening bank.

Awal Mei lalu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan ini dikeluarkan untuk kepentingan perpajakan untuk memenuhi standar kebijakan internasional terkait Automatic Exchange of Information (AEoI). Implikasinya, pemerintah mempunyai payung hukum untuk mengintip rekening bank.

Itu jelas sebuah kewenangan yang besar dan powerful. Harus ada batasan-batasan yang jelas agar kewenangan itu tidak disalahgunakan di luar kepentingan perpajakan. Salah satunya, apakah semua rekening nasabah bank akan diintip? Ataukah ada batas minimum saldo yang menentukan apakah data rekening tersebut dapat diakses oleh pemerintah?

Awalnya, angka yang disebut-sebut boleh diintip oleh Ditjen Pajak adalah besaran yang disepakati dalam AEoI, yaitu USD2500 atau setara dengan Rp3,35 miliar pada kurs Rp13.300. Jika saldo rekening di bawah angka itu, Ditjen pajak tidak bisa mengintip data rekening nasabah yang bersangkutan.

Namun nyatanya tidak demikian. PMK Nomor 70/2017 yang menjadi aturan pelaksana Perppu Nomor 1/2017 menyebutkan bahwa saldo rekening yang wajib dilaporkan paling sedikit sebesar Rp200 juta. Menurut data yang disampaikan pemerintah, saat ini ada 2,3 juta rekening yang memiliki saldo minimal Rp200 juta.

Kebijakan ini, seperti juga ketika pemerintah membuat kebijakan mengintip data transaksi kartu kredit, memicu kegaduhan di masyarakat. Masyarakat resah. Asosiasi UMKM Indonesia, misal, menilai kebijakan itu akan menyusahkan UMKM.

Selang beberapa hari setelah kegaduhan menyeruak di masyarakat, peraturan tersebut direvisi. Saldo rekening yang wajib dilaporkan kepada pemerintah, yang semula minimal Rp200 juta direvisi menjadi Rp1 miliar.

Kembali pemerintah menujukan kelemahannya: gampang mengubah atau menunda kebijakan.

Begitu mudahnya kebijakan diubah atau ditunda mencerminkan bahwa kebijakan itu tidak disusun dengan cermat dengan mempertimbangkan banyak aspek. Hal yang sama mencerminkan bahwa nafsu besar pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak disertai dengan perumusan kebijakan yang ditimbang dengan matang.

Jangan salahkan masyarakat jika muncul pandangan bahwa pemerintah cenderung tergesa-gesa menyusun kebijakan dan tidak disertai dengan rasa percaya diri pula. Kebijakan yang dikeluarkan dengan cara itu hanya memicu kegaduhan-kegaduhan saja.

Ujungnya, hal semacam ini bisa menggerogoti kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Itu jelas tidak menguntungkan kita yang sedang membangun diri di tengah keriuhan politik di sisi yang lain.

Nafsu besar boleh saja. Namun jangan lupa, mesti disertai dengan data dan informasi yang akurat, sehingga kebijakan yang ditetapkan benar-benar matang.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/nafsu-besar-penerimaan-pajak-jangan-cuma-bikin-gaduh

Jaringan

Kontak