Bencana kesehatan itu terulang lagi di Papua. Jumlah korbannya kali ini pun tidak sedikit.
Kejadian luar biasa campak dan gizi buruk dalam empat bulan terakhir di Kabupaten Asmat telah memakan korban anak-anak sangat banyak. Pada awalnya jumlah korban meninggal dalam bencana kesehatan itu, seperti diberitakan oleh Kompas, ada 24 jiwa. Pada gilirannya informasi mengenai jumlah korban terus bertambah.
Informasi tentang jumlah anak meninggal dalam bencana kesehatan tersebut meningkat lagi menjadi 58 anak. Dan bertambah lagi menjadi 61 anak meninggal. Itu belum termasuk ratusan anak-anak yang masih dirawat di rumah sakit maupun yang belum tertangani.
Dua belas tahun lalu, pada 2006, masyarakat Asmat pernah terbebas dari kejadian luar biasa campak. Jika pada 2018 ini campak kembali menyerang anak-anak di Asmat tentu dikondisikan oleh berbagai faktor.
Kementerian Kesehatan menilai salah satu faktornya adalah imunisasi yang tidak optimal di Asmat. Dalam ungkapan yang lebih lugas, wabah campak muncul lagi karena program imunisasi di wilayah itu belum merata. Tidak semua anak di Asmat terjangkau oleh program imunisasi.
Dalam keadaan itu penularan dan penyebaran campak sangat mungkin terjadi pada saat ada momentum berkumpulnya warga. Wabah campak di Asmat kali ini, seperti diduga oleh Steven Langi--mantan Direktur Rumah Sakit Umum (RSUD) Agats--muncul saat pergelaran pesta budaya Asmat yang berlangsung pada akhir 2017 lalu. Dalam acara itu hampir semua warga masyarakat Asmat berkumpul.
Wabah campak tentu akan lebih mematikan jika menjangkiti anak-anak dengan masalah gizi buruk. Padahal khususnya sayuran dan ikan, seperti disampaikan oleh Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito yang dikutip Kompas, makanan bergizi di Asmat sangat kurang.
Mereka yang jauh dari Ibukota Kabupaten Asmat, menurut Murwito, tidak setiap hari mendapatkan ikan. Mereka juga relatif kurang mempunyai kesadaran untuk hidup sehat.
Jika menghitung mundur ke empat bulan sebelum Januari 2018, sebetulnya bencana kesehatan di Papua bukan cuma terjadi di Kabupaten Asmat.
Pada September 2017 lalu kabar tentang warga Kabupaten Yahukimo yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sudah terdengar, meski tidak sesanter berita wabah di Asmat kali ini. Jumlahnya pun cukup besar: 38 orang. Semuanya meninggal dalam keadaan sakit dan tak mendapat pelayanan kesehatan yang selayaknya.
Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giyai, seperti dikutip Suara.com mengakui, "Kami kesulitan mengetahui penyebab kematian itu. Tetapi berdasarkan wawancara dengan masyarakat di kampung tersebut, analisis kemungkinan penyebab kematian antara lain Bronchopneumoni dan TBC atau penyakit paru-paru, diare atau penyakit saluran pencernaan, malaria dan HIV/AIDS."
Pada bulan yang sama, September 2017, juga beredar kabar tentang kematian balita dalam jumlah besar di Kabupaten Nduga. Menurut Kepala Kampung Biribem, Distrik Inikgal, Nikson Wandikbo yang dikutip Okezone.com, jumlah balita yang meninggal sejak sebulan sebelumnya di kabupaten tersebut mencapai 27 anak.
Bencana kesehatan yang terjadi pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini bukanlah pertama kali terjadi di Papua. Dua tahun lalu, pada November 2015, di Kabupaten Nduga terjadi kematian anak dengan jumlah yang tinggi. Angkanya memang tampak simpang siur.
Pada awalnya anak-anak yang meninggal karena "penyakit misterius" di kabupaten itu disebut-sebut berjumlah 41 orang. Belakangan ada juga yang menyebut korban meninggal dalam bencana kesehatan itu adalah 74 anak. Ada juga yang menyatakan jumlah anak-anak yang meninggal itu mencapai 66 orang.
Berdasarkan uji laboratorium atas sampel yang diambil dari warga oleh Kemenkes, penyakit yang dianggap misterius oleh warga itu ternyata disebabkan oleh kuman Pneumococcus dan Japanese encephalitis. Kedua bakteri itu menyebabkan radang paru-paru, gangguan pendengaran, dan bisa juga menyebabkan infeksi di bagian saluran pernapasan lain seperti sinus.
Bencana kesehatan yang terjadi di Asmat telah mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kita berharap pemerintah pusat maupun daerah langkah-langkah yang efektif untuk menanggulangi bencana itu dengan segera.
Bencana itu sungguh harus disesalkan. Pemerintah pusat--dan terutama pemerintah daerah--seperti tidak belajar kepada pengalaman bencana kesehatan serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan kita patut heran bahwa pemerintah daerah malah kaget mendengar kabar kematian puluhan anak di wilayahnya.
Mengapa pemerintah sedemikian lamban mengantisipasi--dan bahkan merespons bencana kesehatan itu?
Kita maklum bahwa kondisi geografis dan infrastruktur di Papua lebih rumit dari Pulau Jawa. Namun mengapa dalam kurun dua tahun, bencana kesehatan serupa masih terjadi dengan kondisi yang sama?
Perbaikan layanan kesehatan seperti apa sebetulnya yang mampu dicapai dalam 2 tahun? Bila masalahnya adalah infrastruktur transportasi, seberapa besar prioritas diberikan untuk menjangkau daerah yang rawan bencana kesehatan?
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya bisa segera memastikan ada rencana dan strategi yang terukur untuk menyelesaikan masalah-masalah di sektor pendidikan dan akses terhadap layanan kesehatan bagi masyarakat di Papua.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/mengapa-bencana-kesehatan-di-papua-terulang-lagi