Kepala daerah jangan lama berkeluyuran di luar wilayahnya

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyuni Manalip, dikabarkan masih masuk kerja ke kantornya pada Senin (15/1/2018) lalu. Padahal Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo telah menonaktifkannya sebagai bupati sejak sepuluh hari sebelumnya, Jumat (5/1/2018).

Mendagri telah mengonfirmasikan penonaktifan Bupati Kepulauan Talaud tersebut, "Sesuai UU 23 kemudian diberhentikan selama 3 bulan nonaktif. Keputusan sudah saya tanda tangani."

Keputusan Mendagri itu tidak datang tiba-tiba. Tjahjo Kumolo menyebutkan ada sejumlah proses sebelum sampai kepada keputusan itu.

Sri Wahyuni Manalip melakukan perjalanan ke Amerika Serikat pada 20 Oktober 2017. Ia baru kembali ke tanah air pada 13 November 2017.

Surat teguran, seperti diakui oleh Jemmy Kumendong -Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara, telah diberikan kepada Sri Wahyuni. Pemprov Sulawesi Utara juga telah mengirimkan laporan mengenai hal tersebut ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Berdasarkan laporan itu, tim investigasi dari Kemendagri mendatangi Kabupaten Kepulauan Talaud. Tim tersebut meminta klarifikasi secara langsung kepada Bupati Sri Wahyuni. Hasil investigasi tim tersebut selama sepekan membuahkan keputusan penonaktifan Sri Wahyuni sebagai bupati.

Menyusul keputusan Mendagri tersebut, pada Jumat 12 Januari 2018 Pemprov Sulut menyerahkan Surat Keputusan Pelaksana Tugas Bupati Talaud kepada Petrus Tuange, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati.

Berdalih belum menerima surat keputusan pemberhentian dirinya, Sri Wahyuni tetap bersikeras akan tetap berkantor seperti biasa sebagai bupati. Sri Wahyuni, menurut Wakil Gubernur Sulut Steven Kandou, tidak hadir pada acara penyerahan surat keputusan tersebut.

Sri Wahyuni merasa tidak melakukan pelanggaran berat yang bisa menjadi alasan pemberhentian dirinya sebagai bupati. Dia mengaku, keberangkatannya ke luar negeri untuk memenuhi undangan yang ditujukan oleh Kedutaan Besar AS kepadanya sebagai perseorangan, untuk mengikuti program studi banding selama hampir sebulan.

"Paspor yang saya gunakan ke sana adalah paspor reguler, dan saya ke sana sendiri tidak membawa staf. Saya juga tidak menggunakan anggaran daerah," aku Sri Wahyuni.

Dasar penghentian sementara Sri Wahyuni Manalip sebagai Bupati Kepulauan Talaud adalah Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemda tersebut memuat sejumlah larangan bagi kepala daerah beserta sanksinya.

Tindakan Sri Wahyuni dikaitkan dengan dua larangan. Pertama, melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri. Kedua, larangan untuk meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 bulan tanpa izin. Bupati seperti Sri Wahyuni seharusnya mendapatkan izin terlebih dahulu dari gubernur sebelum meninggalkan tugas dan wilayah kerja.

Undang-undang tersebut memang tidak menyebutkan larangan itu hanya terbatas bagi perjalanan yang bersifat dinas dan menggunakan uang negara saja. Pelanggaran atas larangan melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin itu dikenakan sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan pelanggaran atas larangan meninggalkan tugas dan wilayah kerja tanpa izin diberi sanksi teguran tertulis.

Kasus penghentian sementara Bupati Kepulauan Talaud setidaknya mempertegas bahwa kepala daerah yang bepergian ke luar negeri atau meninggalkan wilayah kerjanya dalam waktu lama memang sungguh ada di negeri ini.

Empat tahu lalu Mendagri Tjahjo Kumolo sudah memberikan indikasi bahwa banyak kepala daerah yang suka pelesir ke luar negeri dengan menghabiskan anggaran dengan berdalih promosi wisata. Dua tahun kemudian Tjahjo Kumolo mengaku mengeluarkan 613 izin untuk bepergian ke luar negeri kepada kepala daerah.

Lebih lugas lagi, Luhut Binsar Pandjaitan pada saat menjabat sebagai Menko Polhukam pernah mengungkapkan kebiasaan buruk para kepala daerah di Papua dan Papua Barat. Mereka, menurut Luhut, "tidak tinggal di daerah pemerintahannya melainkan banyak membuang waktu di Jakarta dan tempat lain." Hal itu mengakibatkan tersendatnya pembangunan di daerah mereka.

Izin -seperti diamanatkan UU Pemda- yang harus dimintakan kepala daerah yang berniat bepergian, di satu sisi, merupakan bentuk koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, hal itu bisa menjadi mekanisme untuk memastikan setiap perjalanan para kepala daerah berada dalam kepatutan seorang pemimpin pemerintahan daerah.

Bagi seorang pemimpin pemerintahan daerah, meninggalkan tugas dan wilayah kerja di luar kepatutan itu sama saja dengan mengingkari kewajiban dan tanggung jawabnya, serta mengabaikan masyarakatnya sendiri. Sudah seharusnya bagi kepala daerah untuk cukup dekat dengan daerah dan masyarakatnya sehingga bisa mengenali persoalan yang dihadapinya dan menemukan solusinya.

Sangat mengenaskan bahwa seorang kepala daerah justru baru mengetahui bencana kesehatan di wilayahnya dari media massa nasional. Itu menandakan bahwa sang kepala daerah tidak sering berada di wilayah yang dipimpinnya dan tidak memberikan mencurahkan perhatian kepada masyarakatnya.

Para kepala daerah jangan berlama-lama keluyuran di luar wilayah kerjanya -apalagi tanpa izin. Sebab, seperti dikatakan Direktur FKDH Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri Akmal Malik, "Banyak masyarakat yang perlu diurus."


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kepala-daerah-jangan-lama-berkeluyuran-di-luar-wilayahnya

Jaringan

Kontak