Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2017 lalu Presiden Joko Widodo berpesan agar upaya pencegahan korupsi harus dilakukan lebih serius. Keinginan tersebut terkait dengan sejumlah fakta yang dipegang oleh presiden tentang capaian pemberantasan korupsi di negeri kita.
Saat itu Presiden Joko Widodo mengatakan, sejak 2004 sampai 2017, setidaknya ada 12 gubernur dan 64 bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Itu belum termasuk jumlah pejabat yang terjerat korupsi di DPR, DPRD, kementerian dan lembaga negara.
"Tetapi, yang mengherankan," menurut presiden, "Dari waktu ke waktu, pejabat yang ditangkap dan dipenjarakan karena kasus korupsi masih terus ada."
Seolah tak ada yang bisa membuat orang jera untuk melakukan korupsi. Mengapa?
Hukuman penjara yang ringan tak akan membuat orang takut untuk melakukan korupsi. Tak ada upaya yang serius untuk memiskinkan koruptor pun bisa membuat orang tetap merasa enteng untuk menggarong uang negara.
Apalagi jika sanksi terhadap koruptor pun tidak dijatuhkan. Bagaimana bisa orang merasa takut dan jera untuk melakukan korupsi?
Kita patut kecewa mendapatkan kabar bahwa 83 Pegawai Negeri Sipil (PNS) si Sulawesi Utara yang terbukti terlibat tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi putusan pengadilan ternyata masih berstatus aktif. Jumlah itu adalah hasil sinkronisasi dari 145 nama PNS yang diserahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Manado dengan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian.
Itu di Sulawesi Utara. Bagaimana dengan daerah lain? Berapa banyak terpidana kasus korupsi yang sudah mendapat keputusan tetap pengadilan -atau bahkan sudah menjalani hukuman- namun tidak dipecat sebagai PNS?
Padahal ketentuan pemecatan PNS yang melakukan korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. PNS yang melakukan tindak pidana memang tidak serta merta harus dipecat. Undang-undang tersebut menyatakan ada 2 jenis tindak pidana, yang telah mendapatkan putusan tetap pengadilan, yang bisa membuat PNS dipecat.
Pertama, tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Kedua, tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Korupsi tergolong dalam kategori tindak pidana ini
Membiarkan terpidana kasus korupsi tetap berstatus aktif sebagai PNS sama saja dengan mengabaikan undang-undang. Bahkan, jika pembiaran itu dilakukan dengan sengaja, hal itu sama saja dengan pembangkangan terhadap undang-undang.
Pertanyaannya, mengapa para PNS terpidana kasus korupsi itu tidak segera dipecat?
Menurut Mohammad Ridwan, Kepala Biro (Karo) Humas Badan Kepegawaian Negara, ada beberapa hal yang bisa membuat pemecatan terhadap PNS terpidana kasus korupsi itu tidak dilakukan.
"Tidak dilakukan karena kedekatan politik, karena tidak enak, dan rasa kasihan karena anaknya masih kecil-kecil," ungkapnya. Kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian mempunyai peran besar atas pembiaran tersebut.
Kenyataan ini sungguh melukai rasa keadilan. Bukan saja karena ada pengabaian undang-undang, melainkan juga sekaligus karena negara menggaji terpidana korupsi yang seharusnya kehilangan hak tersebut. Sudah korup, digaji pula.
Pemerintah tampaknya harus dengan seksama menggubris saran yang pernah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Mei 2017 lalu, pada saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo, pimpinan KPK menyampaikan saran agar mempermudah mekanisme dan proses pemecatan terhadap PNS yang melakukan tindakan yang bermasalah dengan integritasnya.
Proses birokrasi yang panjang dan berbelit dalam memecat PNS terpidana kasus korupsi hanya memberikan peluang untuk menunda-nunda sanksi tersebut sampai pada gilirannya mengabaikan perintah undang-undang secara diam-diam.
Temuan tentang PNS terpidana kasus korupsi yang belum dipecat harus segera ditindaklanjuti. Melakukan pemecatan adalah satu hal yang harus segera dilakukan.
Hal lain, para penegak hukum juga harus menindaklanjuti pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan pembiaran pelanggaran undang-undang yang mengharuskan pemecatan atas PNS terpidana kasus korupsi tersebut.
Upaya untuk menjalankan amat undang-undang tersebut tentu harus juga didukung oleh sistem kepegawaian negara yang bersifat nasional, terpadu dan terhubung dengan data-data dari lembaga lain secara online.
Sistem semacam itu akan mengatasi persoalan updating data yang -disengaja atau tidak- ditunda sehingga memengaruhi status kepegawaian seorang PNS yang bermasalah.
Sistem kepegawaian negara yang demikian -yang terhubung dengan data pengadilan, misal- akan mempersempit peluang intervensi yang bisa dilakukan oleh kepentingan-kepentingan politik -seperti kepala daerah- atas sanksi yang harus dijatuhkan kepada PNS terpidana kasus korupsi.
Tidak ada alasan untuk menghindarkan pengembangan sistem yang demikian. Apalagi sistem seperti itu bisa membantu kita untuk menjalankan amanat undang-undang untuk mencegah tindak kejahatan kemanusiaan yang disebut korupsi itu.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/segera-pecat-pns-terpidana-korupsi