Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Antikorupsi (UNCAC). Hal itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003.
Meski begitu, baru 7 poin dari konvensi tersebut yang telah dituangkan ke dalam bentuk regulasi. Padahal konvensi tersebut memuat 32 poin penting.
Beberapa butir konvensi tersebut yang belum dituangkan ke dalam regulasi itu antara lain tentang perampasan aset, perdagangan pengaruh (trading in influence), upaya memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), ekstradisi, dan korupsi di sektor swasta.
Ada dua pendapat tentang cara mengakomodasi hal-hal penting tersebut.
Pertama, seperti disampaikan Wakil Ketua komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, diakomodasi ke dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang dibahas di DPR.
Kedua, seperti disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo, diakomodasi dengan merevisi undang-undang Tindak Pidana Korupsi agar tidak menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Khusus terkait dengan korupsi di sektor swasta, dalam rapat konsinyering Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana DPR pada Rabu (17/1/2018) minggu lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk memasukkannya ke dalam RKUHP.
Baik DPR dan pemerintah bersepakat untuk mengenakan pidana penjara atau pidana lainnya kepada siapapun yang terlibat dalam korupsi di sektor swasta -baik sebagai pemberi maupun penerima. Dalam RKUHP, pasal tentang korupsi di sektor swasta tersebut merumuskan 4 jenis tindak pidana:
Penyuapan di sektor swasta
Memperdagangkan pengaruh
Tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah
penyuapan pejabat asing/organisasi internasional.
Belakangan sejumlah legislator di DPR menyatakan, rencana untuk memasukkan korupsi di sektor swasta ke dalam RKUHP akan dikaji kembali. Selain memunculkan kekhawatiran di kalangan pengusaha, aturan mengenai korupsi di sektor swasta disebut-sebut telah tercantum di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Meskipun belum ada kepastian rencana untuk memasukkan korupsi di sektor swasta ke dalam RKUHP, wacana tentang pihak yang memiliki kewenangan menangani korupsi di sektor swasta tersebut telah berkembang. Sejumlah legislator di DPR menyatakan bahwa hanya kepolisian dan kejaksaan saja sebagai pihak yang memiliki kewenangan tersebut.
Tentu pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Undang-undang KPK dipandang hanya memberi kewenangan kepada KPK untuk menangani korupsi yang terkait dengan penyelenggara negara.
Padahal, menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, KPK seharusnya terlibat dalam menangani korupsi di sektor swasta.
"Dalam KUHP harus ada pasal yang mengatakan bahwa KPK juga memiliki kewenangan penanganan tindak pidana korupsi yang termuat dalam KUHP," kata Syarif.
Berbeda pandangan dengan Syarif, anggota Panitia Kerja RKUHP Arsul Sani berpendapat, ketentuan kewenangan suatu lembaga dalam menangani tindak pidana tidak bisa diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, jika KPK ingin memiliki kewenangan untuk menangani korupsi di sektor swasta, maka UU KPK harus direvisi terlebih dahulu.
Ada juga, seperti anggota Panja KUHP DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman, yang berpendapat bahwa perihal kewenangan tersebut tidak dalam pembahasan RKUHP, melainkan nanti di dalam Rancangan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Di luar perdebatan teknis tentang kewenangan menangani korupsi di sektor swasta, ada hal lain yang perlu dipertanyakan. Apakah KPK sebaiknya turut menangani korupsi di sektor swasta itu?
Benar bahwa publik sangat mempercayai KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi terkait penyelenggara negara di negeri ini. Meskipun belum memperlihatkan mampu menekan laju tindak korupsi di kalangan penyelenggara negara, publik dapat melihat dan merasakan hasil kerja KPK.
Namun bersamaan dengan itu publik juga tahu bahwa KPK memiliki sejumlah keterbatasan. Hal itu tampak dari jumlah kasus korupsi yang bisa ditangani oleh KPK dalam setahun. Juga, hal tersebut -terutama terkait dengan sumber daya dan kendala pembuktian- bisa terlihat dari mandegnya sejumlah kasus korupsi besar.
Dengan sumber daya yang terbatas itu, kuranglah bijak jika KPK memecah fokusnya. Publik berhak khawatir, dengan fokus yang terpecah, KPK justru bisa tidak optimal menangani korupsi di sektor manapun.
Karena penyelenggara negara lebih terasa besinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas dan melibatkan kekuasaan, publik pasti lebih berharap agar KPK berfokus untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi di sektor tersebut. Publik lebih menanti langkah KPK untuk mengatasi sejumlah keterbatasan yang dimilikinya selama ini.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kpk-dan-korupsi-di-sektor-swasta