Akhiri korupsi berombongan di lembaga legislatif

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Hari Rabu (31/1/2018) ini, menurut jadwal, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa 11 orang di Markas Brimob Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Jalan Wahid Hasyim, Medan.

Pemeriksaan itu terkait dugaan keterlibatan menerima uang suap untuk "tutup mulut" dan menyetujui Laporan Pertanggungjawaban APBD 2012, Pengesahan Perubahan APBD 2013, 2014 dan 2015 mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.

Pemeriksaan tersebut menyusul pemeriksaan yang sudah dilakukan dua hari sebelumnya. Di tempat yang sama, Senin (29/1) KPK sudah memeriksa 11 orang. Sehari kemudian, Selasa (30/1), juga 11 orang sudah diperiksa.

Tidak berhenti pada hari ini, pemeriksaan masih akan berlanjut pada Kamis (1/2) atas 6 orang, Jumat (2/2) 1 orang, dan Sabtu (3/2) 6 orang. Total anggota dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara yang akan diperiksa oleh KPK berjumlah 46 orang.

Menurut Febri Diansyah, Juru Bicara KPK, pemeriksaan itu untuk mencari tahu peran pihak lain yang diduga terlibat dalam perkara suap. "Dari fakta sidang yang sudah kami pelajari, kami menemukan bukti-bukti dugaan pihak lain yang masih menerima uang suap tersebut," kata Febri.

Sebelum rangkaian pemeriksaan tersebut, sudah ada 12 anggota DPRD Sumatera Utara yang divonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Juni dan Oktober 2016 serta Maret 2017 untuk kasus suap yang sama dari Gatot Pujo Nugroho, yang saat itu menjabat Gubernur Sumatera Utara.

Dalam kasus suap itu, Gatot mengeluarkan uang puluhan miliar. Yaitu Rp1,55 miliar untuk pengesahan LPJP APBD Sumut TA 2012 ; Rp2,55 miliar untuk pengesahan APBD-P Sumut TA 2013; Rp 50 miliar untuk pengesahan APBD Provinsi Sumut TA 2014; Rp300 juta untuk pengesahan LPJP APBD Sumut TA 2014; Rp500 juta untuk pengesahan laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur TA 2014; dan Rp1 miliar untuk pembatalan pengajuan hak interpelasi 2015.

Proses hukum atas 46 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara tersebut masih berjalan. Masih ada sekian proses hukum yang akan dilewati untuk memastikan dugaan keterlibatan mereka dalam kasus suap.

Pemeriksaan 46 orang ini menambah panjang daftar kasus korupsi yang dilakukan secara berombongan oleh anggota dewan. Untuk menunjuk contoh, kasus korupsi dana asuransi anggota dewan di DPRD Sragen adalah salah satunya.

Kasus tersebut bermula dari persetujuan anggota DPRD Sragen untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) APBD yang mengalokasikan dana asuransi bagi mereka sebesar Rp 2,2 miliar pada tahun 2003. Belakangan aparat hukum mengendus pelanggaran hukum di dalamnya. Ada 27 orang yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus itu.

Namun pengadilan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung membebaskan 10 orang terdakwa. Sedangkan 17 lainnya dihukum.

Pemeriksaan rombongan anggota dewan atas dugaan korupsi juga terjadi di Sulawesi Barat. Pada September 2017 lalu Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Kejati Sulselbar) memeriksa 30 orang anggota DPRD Sulbar atas kasus dugaan korupsi APBD 2016.

Dalam kasus tersebut kejaksaan menetapkan Ketua DPRD Sulawesi Barat Andi Mappangara dan tiga orang wakilnya sebagai tersangka. Dua bulan kemudian, dua diantaranya bahkan ditahan karena dinilai tidak kooperatif oleh pihak kejaksaan.

Seperti kasus di Sulawesi Barat, proses hukum beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota lembaga legislatif masih berjalan sekarang. Jumlah kasus sejenis cukup banyak terjadi pasca reformasi.

Selepas dari rezim Orde Baru, lembaga legislatif mempunyai kedudukan politik yang lebih kuat ketimbang sebelumnya. Lembaga legislatif mempunyai kekuasaan yang memadai untuk mengimbangi kekuasaan lembaga eksekutif.

Di tangan orang yang korup, perimbangan kekuasaan itu justru tidak dipakai untuk melakukan kontrol dan pengendalian; malah menjadi jalan untuk menerima suap. Bahkan, bisa jadi digunakan sebagai alat pemerasan.

Penegakan hukum menjadi cara yang harus ditempuh terus menerus untuk menegakkan keadilan dan membuat jera para koruptor. Pada saat yang sama, mengambil momentum Pemilu legislatif, warga negara yang mempunyai hak pilih dapat mengambil peran dengan bersikap kritis terhadap calon-calon anggota dewan.

Mereka yang sudah jelas-jelas mempunyai rekam jejak yang buruk sama sekali tak perlu dipertimbangkan untuk dipilih kembali. Memilih calon yang mempunyai rekam jejak yang jelas adalah salah satu cara untuk menekan korupsi berombongan di lembaga legislatif.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/akhiri-korupsi-berombongan-di-lembaga-legislatif

Jaringan

Kontak