Harga tiket penerbangan rute domestik tak kunjung turun, warga masyarakat bertindak. Protes -dalam bentuk petisi- dilakukan warga. Tak terhindarkan, tarik menarik warga dengan maskapai terkait harga tiket ini pun terjadi.
Pemerintah tampaknya tak mau mengambil risiko di tengah tahun politik. Dasar rasional kenaikan harga tiket itu pun disiasati agar harga tiket bisa turun demi memenangkan hati warga. Apakah itu cukup?
Keinginan maskapai-maskapai penerbangan nasional untuk menaikkan harga tiket penerbangan sudah terdengar sejak 2 tahun lalu. Namun baru dilakukan dengan memanfaatkan momen peak season akhir tahun 2018.
Semua pihak memaklumi, harga-harga yang terkait dengan perjalanan –seperti harga tiket perjalanan dengan moda transportasi apapun dan tarif hotel- akan naik pada peak season.
Cuma saja, ketika akhir tahun berlalu, harga tiket penerbangan tetap saja tinggi, tidak turun seperti yang diharapkan. Bahkan, bersamaan dengan itu, beberapa maskapai low cost carrier berencana memungut biaya bagasi –yang semula digratiskan untuk 10 sampai 20 kilogram.
Semula maskapai berdalih, meski peak season akhir tahun sudah berakhir, namun demand bepergian ke sejumlah kota besar masih tinggi sehingga harga tiket penerbangan tidak lekas turun.
Belakangan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA) memberi isyarat bahwa tidak turunnya harga tiket penerbangan itu terkait dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Harga tiket penerbangan yang tetap tinggi itulah yang kemudian diprotes oleh warga masyarakat –tepatnya oleh warganet, mereka yang mempunyai kehidupan aktif di dunia Internet.
Mereka membuat petisi online yang menuntut penurunan harga tiket pesawat domestik. Sampai Senin (14/1/2019) sore, petisi itu sudah ditandatangani lebih dari 206 ribu orang.
Tekanan untuk menurunkan harga tiket penerbangan itu pun semakin terasa keras setelah beredar kabar tentang warga Aceh yang berbondong-bondong membuat paspor demi menghemat biaya perjalanan dari Aceh menuju Jakarta dengan transit ke Malaysia.
Serupa dengan itu, ada pula hitung-hitungan yang memperlihatkan, untuk mencapai Jakarta dari Papua, akan lebih hemat menggunakan penerbangan rute Papua-Singapura yang transit di Jakarta ketimbang penerbangan rute langsung Papua-Jakarta.
Para pihak mungkin bisa menutup mata terhadap petisi yang ditandatangani ratusan ribu orang. Namun tidak bisa demikian dengan cerita tentang warga Indonesia yang harus ke luar negeri untuk bisa bepergian di dalam negeri dengan harga yang lebih murah.
Cerita semacam itu dengan mudah akan membangun anggapan bahwa negara mengabaikan kepentingan warganya.
Pasca beredarnya kabar tentang cara menyiasati biaya penerbangan domestik dengan mengambil penerbangan luar negeri itu, pemerintah memang memperlihatkan perubahan sikap. Semula pemerintah –lewat Kementerian Perhubungan- memperlihatkan sikap memaklumi tingginya harga tiket penerbangan domestik.
Tingginya harga tiket penerbangan domestik itu, dari sudut pandang tertentu, memang bisa dianggap bukan sebuah kenaikan harga. Harga tersebut masih sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016. Peraturan itu mengatur tarif batas atas dan batas bawah penerbangan kelas ekonomi.
Itu sebabnya, di tengah desakan petisi warganet itu, Kementerian Perhubungan malah sempat meminta warga masyarakat untuk memahami tingginya harga tiket penerbangan.
Keinginan maskapai untuk menaikkan harga tiket penerbangan sudah lama disampaikan. Pemerintah berkali-kali juga memajukan wacana untuk memenuhi permintaan itu.
Pada Oktober 2017 Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengangkat wacana untuk meninjau ulang tarif batas atas dan batas bawah demi terjaminnya keamanan penerbangan. Pada Agustus 2018, dimunculkan juga wacana untuk menaikkan 5 persen tarif batas bawah.
Wacana untuk menaikkan tarif batas bawah penerbangan muncul kembali menyusul kecelakaan pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang. Namun, sampai tahun 2018 berlalu, wacana itu tak terdengar lagi oleh publik.
Sikap pemerintah yang sejak jauh hari cenderung untuk menaikkan tarif batas bawah itu melemah dalam tekanan publik kali ini –terutama oleh narasi publik tentang bepergian domestik lewat transit penerbangan internasional. Itu terlihat dari janji yang diberikan oleh Menteri Perhubungan yang akan menyelesaikan soal tingginya harga tiket penerbangan dalam dua hari.
Janji itu dipenuhi. Hari Minggu (13/1/2019) kemarin INACA memastikan penurunan tarif penerbangan. Tentu ada sejumlah kesepakatan para pihak yang memungkinkan turunnya tarif tersebut.
Publik boleh bergembira dengan kepastian itu. Pemerintah punya peran penting dalam penurunan tarif itu. Dan tak terhindarkan untuk memandang langkah itu dilakukan oleh pemerintah karena tekanan publik di tahun politik.
Namun sebetulnya, peran pemerintah yang jauh lebih penting adalah memastikan standar keselamatan penerbangan. Pemerintah harus menjamin bahwa prosedur standar yang menjamin keselamatan penerbangan tidaklah luntur oleh turunnya harga tiket penerbangan.
Bisnis transportasi –termasuk penerbangan di dalamnya- adalah bisnis kenyamanan dan keselamatan bepergian. Itu tak bisa dikorbankan demi tarif yang murah.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/menurunkan-tarif-penerbangan-tanpa-mengorbankan-keselamatan