Ketika semua orang -dari berbagai negara, bangsa, dan kepentingan- sudah saling terhubung seperti sekarang, ketahanan informasi menjadi isu yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian.
Keterhubungan mengasumsikan keterbukaan. Tanpa ketahanan informasi, keterbukaan itu bisa memberi jalan kepada upaya yang bisa melumpuhkan sebuah masyarakat.
Ada dua hal yang terkait dengan ketahanan informasi dalam sebuah masyarakat. Pertama, ketahanan infrastruktur dan sistem informasi. Kedua, ketahanan alam pikir.
Ketahanan dalam infrastruktur dan sistem informasi tentu bersangkut paut dengan keandalan teknologi -dari sisi keamanan, performa, dan reliabilitas. Namun bukan cuma itu. Ketahanan di bidang itu juga harus dilihat dari sisi kemandirian serta kedaulatan dalam memiliki, melindungi dan mengelola sendiri infrastruktur dan sistem informasi tersebut.
Ketahanan dalam konteks tersebut akan menentukan apakah sebuah masyarakat merupakan entitas merdeka dan berdaulat ataukah hanya koloni dari sebuah imperium yang menguasai jaringan dan sistem informasi. Memang, dalam kaitannya dengan infrastruktur dan sistem, ketahanan informasi akan lebih banyak bersinggungan langsung dengan pihak luar.
Tidak demikian dengan ketahanan informasi yang terkait dengan alam pikir masyarakat. Jauh sebelum Internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita, ketahanan informasi melulu terkait antara siaran propaganda dari stasiun-stasiun pemancar resmi negara tertentu terhadap pirsawan negara lain yang disasarnya. Sekarang tidak begitu. Internet telah mengubah lanskap ketahanan informasi.
Dahulu hanya ada dua pihak yang sangat memengaruhi ketahanan informasi sebuah masyarakat. Yaitu negara dan perusahaan pers. Keduanya, pada zamannya, menguasai distribusi dan pembukaan akses terhadap informasi. Namun kekuasaan itu melemah ketika kita memasuki era Internet.
Internet memungkinkan siapapun -bahkan pada tingkat perseorangan- untuk mendistribusikan dan mengakses jauh lebih leluasa ketimbang sebelumnya. Masyarakat menjadi lebih intim dengan informasi ketimbang era sebelumnya. Informasi melekat di saku setiap orang hampir setiap saat.
Di dalam suatu masyarakat, politik informasi saat ini lebih bersifat horisontal ketimbang vertikal. Politik informasi bukan lagi soal pusat dan daerah, organisasi dan anggota, atau negara dan warga negara. Politik informasi menjadi soal persinggungan antar warga negara.
Itulah yang kita alami sekarang. Terutama sejak masa Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Kepala Daerah DKI tahun ini, dan masih berlanjut sampai sekarang.
Barangkali semula kita mengira bahwa hal tersebut memang melulu berjalan dalam konteks rivalitas elektoral. Namun belakangan kita menyadari, hal itu lebih dari sekadar urusan pemilihan.
Dinamika yang terjadi di tengah masyarakat lebih cenderung kepada perang informasi; bukan dinamika politik yang sehat. Kita bisa merasakan ada upaya yang masif dan sistematis untuk membenturkan sesama warga negara secara sedemikian ketat.
Praktik pengembangan dan penyebaran kabar bohong dan berita palsu sudah cukup membuktikan bahwa dinamika dalam masyarakat kita saat ini bukanlah ditujukan agar kita menjadi kelompok masyarakat yang lebih kritis dan berpengetahuan.
Perang informasi itu lebih akan menghasilkan sikap apatis dan pesimis, memperuncing pertikaian, dan bertendensi untuk menimbulkan gesekan dan perpecahan di tengah masyarakat.
Dengan potensi risiko semacam itu, kita tidak bisa mengelak untuk mengakui bahwa ketahanan informasi kita sungguh payah. Banyak di antara kita tidak menyadari situasi rawan itu karena rapuhnya ketahanan informasi kita tersamarkan seolah riak-riak kehidupan demokrasi yang lumrah.
Dalam situasi itu, celah-celah ketahanan informasi menjadi jauh lebih banyak dan rentan terhadap serangan. Untuk melumpuhkan negara, pihak manapun bisa meminjam tangan warga negara setempat dan memanfaatkan peristiwa rivalitas politik yang ada di dalamnya.
Sungguh miris jika ada kelompok orang yang menggerogoti ketahanan informasi kita demi keuntungan finansial bagi dirinya sendiri. Sejak perang informasi mulai terasa lebih kencang, banyak di antara kita mencurigai kehadiran kelompok yang bertugas memperuncing pertikaian dan memecah belah masyarakat lewat kabar bohong dan berita palsu.
Penangkapan sejumlah orang yang disebut polisi sebagai kelompok Saracen pada akhir Juli sampai awal Agustus lalu mengkonfirmasi kecurigaan itu. Menurut polisi, kelompok tersebut adalah kelompok profesional yang menyediakan jasa untuk menyebarkan kabar bohong, berita palsu, serta ujaran kebencian.
Kita mengapresiasi upaya polisi tersebut sebagai salah satu langkah untuk merawat ketahanan informasi dalam masyarakat. Namun tentu itu belum cukup.
Sebagai bagian dari merawat ketahanan informasi pula, kasus ini harus segera memasuki proses pengadilan agar semua pihak tahu apakah benar ada kelompok penjahat yang mengambil keuntungan dari pertikaian di tengah masyarakat kita lewat penyebaran kabar bohong, berita palsu dan ujaran kebencian.
Kita tidak ingin kasus ini tidak jelas kelanjutannya--seperti halnya kasus tuduhan makar kepada sejumlah orang yang pernah dirilis oleh polisi.
Penegakan hukum barulah salah satu aspek yang perlu dilakukan demi menjaga ketahanan informasi kita. Pemerintah juga perlu mengembangkan strategi komunikasi dan informasi publik yang tepat guna sekaligus berwibawa.
Saat ini, bukanlah perkara mudah bagi publik untuk mengkonfirmasi berbagai isu yang berkembang. Sudah saatnya Kementerian Komunikasi dan Informatika memberikan perhatian yang lebih baik terhadap isu ketahanan informasi ini.
Pers nasional juga harus menerima tantangan untuk merawat ketahanan informasi ini. Selain bersiteguh dengan disiplin verifikasi untuk memastikan kebenaran informasi, pers nasional juga ditantang untuk secara profesional mampu menjadi jujugan para penikmat informasi dan berita.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/saracen-dan-rapuhnya-ketahanan-informasi-kita