KPK harus jalan terus

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Jika ada orang yang dengan terbuka dan gigih menghendaki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bubar, maka dia adalah Fahri Hamzah.

Kepada Ketua KPK yang saat itu dijabat oleh Busyro Muqoddas, dalam suatu rapat konsultasi DPR dengan KPK, Fahri pernah mengatakan, "Pak Busyro kalau ada yang ingin membubarkan KPK, terus terang saja saya yang bicara. Saya tidak percaya dengan lembaga superbody yang ada di negara demokrasi."

Politisi yang menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu berkali-kali mengemukakan gagasan untuk membubarkan KPK. Tentu dengan berbagai dalih.

Salah satu alasan yang sering diungkapkan politisi yang tak diakui partainya itu adalah, dengan waktu yang telah dilaluinya KPK telah gagal menangani korupsi. Pada 2011, saat untuk pertama kalinya menyampaikan gagasan tentang pembubaran KPK, Fahri mengatakan bahwa KPK telah gagal meski delapan tahun menangani korupsi sistemik.

Menurutnya saat itu, KPK seharusnya berusia hanya tiga tahun saja seperti KPK di Hongkong dengan tugas pembenahan sistem. Sulit dibayangkan bila kita bandingkan dengan pemberantasan narkoba yang sudah berjalan jauh lebih lama; apakah kepolisian juga harus bubar karena dinilai gagal?

Bagi Fahri, dalam kesempatan lain, alasan lain pembubaran KPK adalah bahwa sudah ada lembaga inti negara yang mengurusi penegakan hukum. Yaitu kepolisian dan kejaksaan. Kehadiran KPK, menurutnya, malah menimbulkan persaingan di lembaga inti.

Gagasan untuk membubarkan KPK kembali digulirkan saat ia mengomentari operasi tangkap tangan di Pamekasan, Madura. Jumlah uang dalam OTT itu -sekitar Rp100 juta- dinilai oleh Fahri, terlalu kecil untuk ditangani oleh lembaga sebesar KPK. Dengan begitu, menurutnya, sebagai lembaga yang dibiayai secara besar, KPK layak dibubarkan.

Ide pembubaran KPK, meskipun disampaikannya berkali-kali, tidak pernah sungguh-sungguh dapat menggoyang lembaga antirasuah itu. Masyarakat dan banyak pihak menentang ide itu.

Yang paling baru, ide pembubaran KPK dari Fahri berubah menjadi ide untuk merevisi Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Gagasan ini pasti tidak lepas dari momentum kerja Panitia khusus angket KPK yang sedang berlangsung saat ini. Pansus angket KPK, yang terbentuk selepas terungkapnya sejumlah nama anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP, saat ini memang sedang terus mengorek sejumlah hal terkait kerja KPK.

Pada awal prosesnya, banyak pihak mempertanyakan arah pembentukan Pansus tersebut. Belakangan, dengan melihat sejumlah langkah yang telah dilakukan oleh Pansus, kita semakin teryakinkan bahwa pembentukan Pansus itu akan bermuara kepada rekomendasi untuk merevisi UU KPK.

Ide untuk merevisi UU KPK sudah muncul jauh-jauh hari terutama dari kalangan DPR. Namun pemerintah tampaknya tidak berminat untuk melakukannya. Indikasi pelemahan KPK lewat ide revisi UU tersebut, terlihat dalam drafnya.

Ada lima hal penting dalam draf itu yang jelas akan memperlemah KPK.

  1. Usia KPK akan dibatasi. Dua belas tahun setelah revisi tersebut diundangkan, KPK harus bubar.
  2. KPK tidak diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan oleh UU KPK yang berlaku -yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
  3. KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 miliar atau lebih. Ketentuan itu merupakan bentuk pengurangan kewenangan KPK.
  4. KPK harus mendapat izin pengadilan untuk melakukan penyadapan. Ketentuan ini dikhawatirkan membuat kerja penyadapan KPK menjadi tidak efektif.
  5. KPK tidak memiliki penuntut. Sebab penuntut berasal dari lembaga Kejaksaan.

Di luar kelima hal tersebut, masih ada sejumlah hal lain yang bisa melemahkan KPK.

Ide untuk menerbitkan Perppu KPK itu sendiri diakui oleh Fahri sebagai jalan untuk mempercepat terwujudnya revisi UU KPK tersebut.

Ide itu sebetulnya terasa aneh. Perppu lazimnya datang dari inisatif pemerintah; bukan dari DPR. Lagi pula, syarat penting penerbitan Perppu adalah adanya kegentingan yang mendesak. Kita tahu, sejauh ini tak ada situasi genting yang bisa menjadi alasan untuk terbitnya Perppu KPK.

Untuk menghormati lembaga wakil rakyat, kita tentu tak bisa memperlakukan ide penerbitan Perppu dari Fahri Hamzah itu sebagai ide sembarangan. Kita bisa memperlakukan ide itu sebagai tanda bahwa keinginan sejumlah pihak--beserta yang diwakilinya--untuk memperlemah KPK masihlah sangat besar.

Mempertimbangkan hal tersebut, kita berharap pemerintah tetap teguh dengan komitmennya untuk mempertahankan KPK serta menjauhi berbagai upaya yang bisa melemahkannya. UU KPK yang ada masih cukup memadai dan dibutuhkan agar KPK bisa lebih baik dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum, menimbulkan efek jera bagi koruptor, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kpk-harus-jalan-terus

Jaringan

Kontak