Kita dan tragedi kemanusiaan di Rakhine

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Tragedi kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, belum berhenti. Akhir Agustus lalu, bahkan, terjadi krisis baru di wilayah tersebut. Korban kembali berjatuhan. Pengungsian masih terus berlangsung.

Gerilyawan Rohingya yang tergabung dalam ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army -Tentara Keselamatan Arakan Rohingya) akhir Agustus lalu melakukan serangkaian serangan ke beberapa pos polisi di wilayah Rakhine bagian utara. Serangan tersebut, disebut-sebut, menewaskan 12 orang.

Pihak militer Myanmar membalasnya dengan keras. Dalam aksi balasan yang sangat besar itu, muncul dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat. Menurut Human Rights Watch (HRW), dalam serangan balasan itu, sekurangnya ada 17 titik api yang terpantau dari satelit. Bahkan dilaporkan sedikitnya 2.600 rumah telah habis terbakar.

Pihak militer menyatakan, sekitar 400 orang tewas dalam pertempuran itu. Di antara korban tewas itu, 370 di antaranya adalah pejuang Rohingya, 14 warga sipil, termasuk empat etnis Rakhine dan tujuh orang Hindu.

Krisis terbaru ini memicu gelombang pengungsi dengan jumlah yang besar. Sekitar 58 ribu orang -sebagian besar orang Rohingya- mengungsi ke Bangladesh.

Krisis terbaru itu merupakan kesinambungan dari gelombang kerusuhan etnis yang terjadi pada 2012. Selain sekitar 100 orang tewas, saat itu banyak orang Rohingya terusir dari desa-desanya. Mereka kemudian tinggal di berbagai penampungan.

Tragedi kemanusiaan yang menimpa orang Rohingya semakin menjadi-jadi menyusul krisis yang terjadi pada 2016. Tepatnya selepas serangan yang dilakukan kaum militan Rohingya.

Saat itu pihak militer Myanmar melakukan pembalasan besar-besaran. Dalam aksi itu, pasukan pemerintah dituding telah melakukan pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran desa dan penyiksaan. Dalam sebuah laporan, badan hak asasi manusia PBB mengatakan, 'kekejian tak terperi' telah terjadi di sana. Akibatnya, menurut data PBB, tak kurang dari 100 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Pemerintah Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan orang-orang Rohingya. Sejak 1982, mereka dianggap sebagai imigran ilegal oleh pemerintah Myanmar. Padahal banyak data menunjukkan bahwa orang Rohingya sudah tinggal menetap di wilayah itu beberapa generasi.

Tidak sedikit pihak mencoba membingkai krisis yang terjadi di Rakhine itu semata-mata sebagai suatu konflik agama. Hal itu jelas menyederhanakan persoalan yang sangat kompleks di wilayah Rakhine. Mereka yang tekun mencermati perkembangan di Rakhine sudah bisa melihat bahwa krisis di Rakhine merupakan buah dari persoalan budaya, politik dan ekonomi yang ruwet di wilayah itu.

Belakangan, bahkan, semakin terlihat bahwa krisis di Rakhine lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis dan ekonomi. Bukan semata-mata konflik agama. Kenyataan ini perlu kita pahami agar kita tidak salah dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Rakhine.

Kita perlu menyatakan keprihatinan kita atas tragedi tersebut. Juga kita perlu melakukan sejumlah langkah nyata untuk membantu para pengungsi dan orang-orang yang terusir dari tanahnya akibat krisis tersebut, serta mendorong semua pihak yang terlibat untuk menahan diri agar tidak memilih jalan kekerasan untuk mengakhiri krisis.

Kita bangga pemerintah Indonesia cukup aktif membantu mengatasi krisis di Rakhine tersebut. Selain menyerukan untuk menghentikan kekerasan, Presiden Joko Widodo telah menugaskan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi untuk menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak. Selain itu, Menlu juga ditugaskan untuk menyiapkan bantuan kemanusiaan yang diperlukan pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh.

Sebelumnya, bantuan makanan dan obat-obatan sebanyak 10 kontainer telah diberikan pada Januari dan Februari lalu. Pada Oktober mendatang pemerintah Indonesia akan membantu membangun membangun rumah sakit di Rakhine.

Dalam kaitannya dengan krisis di Rakhine itu, kita memang berharap pemerintah Indonesia menjalankan amanat konstitusi untuk "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial" lewat praktik politik bebas aktif.

Selain solidaritas kemanusiaan terhadap Rohingya, yang tidak kalah penting bagi kita di Indonesia adalah daya tahan kita terhadap provokasi dan propaganda. Sudah seharusnya kita lebih mempunyai daya tahan yang baik terhadap pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan politik di dalam negeri kita dengan menunggangi isu Rohingya.

Sungguh kita menyayangkan provokasi dan propaganda di tengah masyarakat kita saat ini, yang menyatakan seolah-olah telah terjadi konflik agama global dan menariknya sebagai persoalan dalam negeri kita. Selain tidak masuk akal, propaganda itu sungguh tidak bertanggung jawab terhadap keutuhan kita sebagai bangsa yang bineka.

Provokasi dan propaganda -dalam beragam bentuk hoax- itu pun tidak menguntungkan bagi upaya untuk menyelesaikan krisis di Rakhine.

Solidaritas kita kepada Rohingya adalah solidaritas kemanusiaan, yang menginginkan terwujudnya "ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/kita-dan-tragedi-kemanusiaan-di-rakhine

Jaringan

Kontak