Mengapa diskusi harus dicegah?

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Gelagat adanya pihak yang tidak setuju dengan rencana Forum 65 untuk mengadakan seminar tentang pengungkapan sejarah Indonesia tahun 1965-1966 sudah terlihat beberapa hari sebelum acara itu berlangsung. Itu ditandai dengan tersebarnya sejumlah tuduhan bahwa acara tersebut terkait dengan gerakan organisasi terlarang.

Diskusi akademis itu semula direncanakan akan dilangsungkan di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pesertanya pun terbatas. Hanya 50 orang saja.

Demi melihat gelagat penolakan atas rencana itu, pihak LBH Jakarta melakukan pertemuan dengan pihak dari kepolisian untuk mengklarifikasi sejumlah kabar dan tudingan yang dialamatkan ke rencana kegiatan tersebut. Menurut rilis yang dikeluarkan oleh Tim Advokasi Seminar 65, muncullah kesepakatan bahwa kegiatan itu bisa berlangsung dengan sejumlah persyaratan yang disetujui oleh panitia kegiatan.

Nyatanya, pada saat kegiatan akan dilangsungkan pada Sabtu (16/9) lalu, kesepakatan itu diabaikan. Para peserta seminar yang datang sejak pagi dicegat oleh polisi. Sejumlah peserta yang berusia lanjut terpaksa harus duduk-duduk di luar pagar kantor LBH Jakarta.

Polisi hari itu tidak mengizinkan kegiatan tersebut berlangsung. Tidak seperti yang telah disepakati sebelumnya. Seminar dibubarkan oleh polisi sebelum sempat terlaksana.

Sementara itu sejumlah massa yang menolak kegiatan tersebut berdatangan dalam dua gelombang. Gelombang pertama datang pada pagi hari. Gelombang kedua datang pada siang hari.

Polisi berdalih, pembubaran kegiatan tersebut dilakukan karena polisi tidak mendapat pemberitahuan sebelumnya.

"Seandainya mengumpulkan banyak orang, kemudian berkegiatan tanpa memberikan pemberitahuan atau izin kepolisian, ya kami berhak bubarkan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono seperti dikutip CNN Indonesia.

Sebetulnya, ada dua alasan pembubaran kegiatan tersebut. Itu terlihat dari pernyataan lanjutan Argo seperti dikutip Jawa Pos, "Sengaja kita bubarkan. Tidak ada surat pemberitahuan, dan ini banyak aliansi masyarakat yang menolak."

Tidak ada pemberitahuan atau izin dan adanya tekanan penolakan dari kelompok masyarakat lain. Dua dalih itu membuat kita teringat bahwa hal serupa sudah terjadi berkali-kali. Sejumlah kegiatan diskusi dibatalkan, atau dibubarkan, atau tidak diizinkan karena dua alasan itu.

Hebatnya, pembubaran, pembatalan, penolakan izin itu tidak selalu dilakukan oleh polisi. Melainkan, bisa saja dilakukan oleh pimpinan kampus atau rombongan massa yang memaksakan kehendak.

Pada 2012, diskusi buku karya penulis asal Kanada Irshad Manji mengalami sejumlah rintangan. Bahkan diskusi buku di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial Yogyakarta dibubarkan massa tanpa bisa dicegah oleh polisi. Sementara rencana diskusi buku yang sama di kampus Universitas Gadjah Mada juga batal dilangsungkan karena pihak rektorat tidak memberi izin, dengan dalih keamanan.

Pada tahun 2014 acara bedah buku ilmiah karya ahli sejarah Harry A. Poeze juga tidak diberi izin oleh polisi di Surabaya. Alasannnya seperti disampaikan Koordinator Divisi Monitoring dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khoir, "Izin ditolak oleh polisi karena alasan keamanan, polisi khawatir ada pembubaran paksa oleh kelompok tertentu."

Tahun 2015 hal serupa juga terjadi cukup banyak terjadi. Pihak yang melakukan pelarangan, pembubaran atau pembatalan itu berasal dari pihak yang berbeda: ormas, rektorat, kepolisan, militer, pemerintah daerah, atau warga setempat. Beberapa di antara kegiatan itu adalah Diskusi Setengah Abad Gendjer-Gendjer di Banyuwangi; diskusi G30S PKI/1965 pada acara Ubud Writers & Readers Festival di Bali; diskusi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Universitas Diponegoro Semarang.

Hal itu terulang kembali pada tahun-tahun berikutnya. Warga negara bisa melihat dengan jelas bahwa polisi lebih mengakomodasi pihak-pihak penekan yang tidak setuju dengan isi kegiatan. Sementara soal pemberitahuan kegiatan, kita semua paham bahwa hal itu adalah perkara formal.

Kita tahu, Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang sering dijadikan dalih oleh polisi itu pun sama sekali tidak berbicara tentang perizinan. Melainkan pemberitahuan saja. Itu pun dengan konteks yang jelas dalam dua hal.

Pertama bentuknya adalah unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Kedua, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum. Artinya, diskusi terbatas di ruangan yang tidak menjadi tempat terbuka untuk umum, sama sekali tidak dikenai kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada polisi.

Polisi memang mempunyai kewenangan diskresi yang melekat. Dengan kewenangan itu, polisi memang bisa menilai suatu peristiwa dan menentukan tindakan yang harus diambil secepatnya secara tepat. Namun hal itu tidak berarti membebaskan polisi untuk wajib melindungi warga negara yang berhak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapatnya dalam diskusi.

Merawat demokrasi dalam masyarakat kita, tidak melulu berarti meloloskan segala permintaan pihak penekan. Merawat demokrasi juga berarti melindungi setiap hak warga negara dari kelompok lain manapun yang berupaya merenggutnya. Dan itu adalah kewajiban aparat keamanan.

Menegakkan ketertiban tidak selalu berarti takluk kepada para pemberang. Menegakkan ketertiban adalah menjaga hak dan kewajiban setiap orang secara sama.

Pak polisi, berhentilah bersembunyi di balik "rezim pemberitahuan".

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/mengapa-diskusi-harus-dicegah

Kontak