Pemimpin itu bukan sekadar orang yang ingin berkuasa

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun-tahun politik. Dan itu sudah dekat. Tak sampai 24 bulan lagi.

Tahun depan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilangsungkan serentak di Indonesia. Pada tahun 2019 kita memasuki Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Pilkada serentak itu akan berlangsung delapan bulan lagi. Bulan Juni 2018, tepatnya. Daerah-daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada itu berjumlah 171. Daerah-daerah itu terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Pemungutan suara Pemilu 2019 akan berlangsung pada bulan April 2019. Pengajuan calon anggota legislatif akan dilakukan pada Juli 2018. Sedangkan pengajuan calon presiden dilangsungkan pada Agustus 2018.

Seharusnya, minggu depan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai menerima pendaftaran partai politik yang akan ikut dalam Pemilu. KPU sedang bekerja agar pesta demokrasi itu berjalan baik, meski minggu lalu sempat muncul kekhawatiran bahwa proses pendaftaran tersebut akan terganggu karena saat itu Rancangan Peraturan KPU tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu belum juga disahkan.

Selagi KPU terus bekerja untuk memastikan Pemilu berlangsung baik, sejumlah orang menyiapkan dirinya terutama terkait dengan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Ancang-ancang untuk ikut dalam Pilkada dan Pilpres bahkan mungkin sudah dilakukan jauh-jauh hari. Tidak hanya untuk memenangkan pemilihan, bahkan untuk menjadi kandidat dalam Pilkada maupun Pilpres pun memang butuh persiapan yang memadai.

Sebagian orang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri, menyatakan niat dan minatnya untuk menjadi kandidat. Sebagian lain mungkin masih bersikap malu-malu untuk menyatakannya. Mereka mungkin sama-sama sedang bekerja keras untuk mendapatkan kendaraan yang bisa mengusungnya sebagai kandidat dalam pemilihan.

Tak ada soal dengan minat dan niat warga negara yang ingin menjadi kandidat kepala daerah atau kepala negara. Siapapun berhak untuk memilih dan dipilih, selama memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh peraturan dan undang-undang.

Namun tentu kita berharap, mereka yang muncul menjadi kandidat dalam Pilkada dan Pipres nanti adalah orang-orang yang berkualitas, yang bisa menjadi pemimpin yang bermartabat di daerahnya atau di negeri ini. Harapan itu terkait dengan tantangan yang kita hadapi, dan juga dengan karakter Pemilu itu sendiri.

Tantangan-tangan di bidang ekonomi, pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya manusia sungguh nyata di depan mata. Kita juga menghadapi tantangan di bidang pemberantasan korupsi yang masih harus terus berlanjut.

Pada saat yang sama -dan bisa jadi tidak terduga sebelumnya- kita juga mendapati tantangan untuk menjaga kemajemukan dalam kehidupan sosial. Isu-isu primordial tidak hanya menjadi bahan pembicaraan yang panas; dalam beberapa segi, isu primordial itu sudah mewujud dalam tindakan yang mengancam kemajemukan kita.

Tantangan-tantangan tersebut hanya akan bisa ditangani dengan tepat oleh seorang pemimpin, orang yang memahami dan mampu bertindak untuk mengelola sekaligus memiliki visi ke masa depan. Kita membutuhkan seorang pemimpin, sebagai kepala daerah maupun kepala negara.

Sayangnya, kita tahu, Pemilu tidak memberikan jaminan mampu menghadirkan pemimpin. Meskipun menentukan orang yang akan menjadi kepala daerah atau kepala negara, Pemilu bukanlah soal memilih kepemimpinan. Pemilu lebih tampak sebagai sistem yang memungkinkan orang dipilih dan memilih.

Karakter Pemilu lebih terkait soal kemenangan yang harus diraih oleh kandidat. Para kandidat -juga para tim suksesnya- pasti sudah tahu bahwa kemenangan dalam Pemilu bisa saja sama sekali tidak terkait dengan kepemimpinan dan kompetensi kandidat; bisa saja juga tidak terkait dengan visi dan misi kandidat sebagai calon kepala daerah atau presiden.

Kemenangan dalam Pemilu adalah soal penilaian pemilih kepada kandidat. Pada praktiknya, penilaian yang dilakukan para pemilih itu seringkali bukan suatu proses penilaian yang mendalam. Bahkan sebuah penelitian menunjukkan bahwa elektabilitas lebih terkait dengan persepsi. Lebih spesifik lagi, elektabilitas adalah soal impresi fisik.

Karakter penilaian para pemilih yang cenderung dangkal itu bisa menggoda mereka yang berhasrat berkuasa untuk memanipulasi persepsi. Bagi mereka yang berorientasi kepada kekuasaan, segala cara tampak halal demi mendapatkan dukungan dalam pemilihan.

Yang paling berbahaya, bagi masyarakat kita yang majemuk ini, adalah ketika sentimen-sentimen primordial dijadikan alat untuk memanipulasi persepsi itu demi meraih dukungan. Jika itu terjadi, masyarakat sangat mungkin bergesekan secara horisontal. Itu sangat fatal.

Kita sangat berharap, siapapun yang berminat dan berniat menjadi kandidat dalam Pilkada maupun Pilpres nanti lebih menunjukkan sisi kepemimpinannya ketimbang sekadar gairahnya yang besar untuk berkuasa. Itu adalah cara yang bermartabat untuk mengabdikan diri kepada negara.

Berbarengan dengan itu, para pemilih juga harus mulai membiasakan untuk cermat melihat mereka yang berminat dan berniat menjadi kandidat. Pemilih harus cukup awas untuk membedakan pemimpin sejati dan pihak yang hanya ingin berkuasa semata.

Pemimpin tidak akan pernah memicu keresahan dalam ucapan dan tindakannya. Pemimpin lebih menunjukkan penghormatan kepada hukum dan keadilan. Pemimpin, bagi Indonesia, lebih memperlihatkan tindakan nyata merawat dan menjaga kemajemukan dalam masyarakat.

Kita membutuhkan pemimpin itu.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/pemimpin-itu-bukan-sekadar-orang-yang-ingin-berkuasa

Kontak