Sprindik baru demi merawat keadilan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Akhir September lalu hakim Cepi Iskandar mengabulkan gugatan Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Salah satu permohonan dalam gugatan Setya Novanto adalah meminta agar pengadilan menyatakan penetapan Novanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah tidak sah dan menghentikan penyidikan terhadap dirinya.

KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada pertengahan Juli lalu. KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka setelah mencermati fakta persidangan dua terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP.

Menurut KPK, Novanto melalui Andi Nargong diduga mengondisikan peserta dan pemenang tender e-KTP. keduanya memiliki peran dalam proses perencanaan, pembahasan anggaran, dan proses pengadaan barang dan jasa.

Dalam amar putusan sidang gugatan praperadilan itu hakim Cepi menyebutkan, "Mengadili mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian. Menyatakan penetapan status tersangka Setya Novanto adalah tidak sah. Memerintahkan pada termohon (KPK) untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto."

Hakim Cepi Iskandar berpendapat bahwa ada dua alasan yang membatalkan status tersangka Novanto. Pertama, penetapan seseorang tersangka harus di akhir penyidikan. Kedua, sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) seseorang tidak bisa dipakai untuk penyidikan orang lain.

Kita harus menghormati keputusan pengadilan itu. Meski harus diakui pula bahwa tidak sedikit warga negara yang kecewa atas keputusan tersebut.

Kekecewaan banyak orang itu tidaklah dalam pengertian ingin menghukum seseorang di luar keputusan pengadilan. Kekecewaan itu harus kita lihat sebagai keinginan besar warga negara untuk melihat kasus korupsi e-KTP disidangkan di pengadilan agar publik tahu siapa saja yang bersalah dan tidak bersalah dalam kasus tersebut.

Nama Setya Novanto muncul secara kuat dalam kasus tersebut. Publik tentu ingin tahu apakah politisi tersebut bersalah ataukah tidak di depan hukum, lewat sebuah pengadilan yang jujur. Warga negara ingin melihat kepastian hukum atas peran Setya Novanto dalam pusaran kasus korupsi e-KTP.

Sidang praperadilan tidak memasuki wilayah itu. Sidang praperadilan tidaklah memutuskan apakah Setya Novanto bersalah ataukah tidak dalam kasus korupsi e-KTP. Sidang praperadilan itu hanya memutuskan bahwa cara KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka adalah tidak sah.

Mahkamah Agung (MA), lewat keterangan tertulis Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, menyampaikan bahwa esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka, dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri.

"Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara," kata Abdullah.

Artinya, Setya Novanto bisa dijadikan tersangka lagi dengan cara penetapan yang sah. Itu sebabnya banyak pihak berharap KPK segera mengeluarkan sprindik yang baru atas Novanto.

Terlebih belakangan beredar informasi, yang bersumber dari laporan agen FBI terkait gugatan yang diajukan pemerintah federal Minesotta Amerika kepada Johannes Marliem, yang menyebutkan bahwa Marliem mengakui memberikan uang dan benda lain kepada pejabat di Indonesia terkait lelang e-KTP pada 2011. Salah satunya adalah pemberian jam tangan seharga Rp1,8 miliar kepada Novanto. Marliem adalah salah satu saksi kunci dalam kasus korupsi e-KTP, yang mati bunuh diri.

Informasi itu diharapkan menjadi sinyal kuat bahwa KPK akan mendapatkan bukti-bukti baru dan tambahan yang memungkinkan untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.

Lebih dari itu, KPK sebetulnya punya pengalaman dalam menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka, setelah sebuah sidang praperadilan membatalkan status tersangka sebelumnya. Hal ini terjadi dalam kasus korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, yang melibatkan Ilham Arif Sirajuddin -Wali Kota Makassar saat itu.

Pada pertengahan Mei 2015 dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri jakarta Selatan hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati mengabulkan gugatan Ilham Arief Sirajuddin. Dalam putusannya, hakim Upiek menyatakan tidak sah atas penetapan Ilham Arief sebagai tersangka oleh KPK.

Sebulan kemudian KPK mengeluarkan sprindik baru atas Ilham Arief Sirajuddin. Penetapan tersangka itu pun kembali digugat oleh Ilham Arief, namun hakim tunggal Amat Khusairi dalam sidang praperadilan menolak gugatan tersebut.

Pada Februari 2016 Ilham Arif Sirajuddin divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan hukuman pidana penjara selama 4 tahun. Di tingkat banding hukumannya ditingkatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI menjadi 6 tahun. Di tingkat kasasi hukuman bagi Ilham Arief menjadi 4 tahun penjara.

Kita berharap pengalaman dalam mengeluarkan sprindik baru seperti terjadi pada kasus Ilham Arif itu juga bisa dilangsungkan oleh KPK kepada kasus serupa -seperti, misal, kasus yang melibatkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan kasus penyalahgunaan wewenang yang melibatkan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Kita berharap KPK akan lebih cermat dalam bekerja agar kasus-kasus korupsi yang dimentahkan lewat gugatan praperadilan itu bisa kembali didorong ke proses pengadilan.

Penerbitan sprindik baru atas kasus-kasus serupa itu bukan semata-mata demi memenjarakan seseorang, melainkan demi merawat rasa keadilan. Pengadilan yang memeriksa perbuatan pidana sangatlah penting bagi orang yang pernah diumumkan sebagai tersangka maupun bagi publik. Dalam pengadilan yang jujur dan independen, publik dan orang yang pernah menjadi tersangka -dan kemudian terdakwa- akan mendapatkan kepastian hukum yang lebih terhormat.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/sprindik-baru-demi-merawat-keadilan

Jaringan

Kontak