Pengendalian yang berlebihan bisa mengancam demokrasi

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Kementerian Agama (Kemenag) tampaknya berhasrat mengatur para pendakwah yang kegiatannya disiarkan lewat media elektronik. Hasrat itu akan terlihat dalam apa yang disebut sebagai Kode Etik Siaran Dakwah di Media Elektronik, yang drafnya sedang dipersiapkan.

Seperti dimuat di situs web Kementerian Agama, sejumlah hal akan diatur dalam kode etik itu. Beberapa di antaranya adalah pengaturan empat pilar utama dai, adab berdakwah, dan pembentukan apa yang disebut sebagai tim pengawas.

Pengaturan empat pilar utama itu akan mengharuskan dai memiliki pemahaman tentang Al-Quran dan Al-Hadis. Dai juga harus memiliki wawasan kebangsaan yang mencakup Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika, dan NKRI. Pendakwah tidak diperkenankan berasal dari kelompok paham dan aliran yang bermasalah, yang menyerukan kekerasan, dan yang ingin mengganti asas bernegara.

Adab berdakwah yang diatur dalam kode etik tersebut mencakup kompetensi yang harus dimiliki pendakwah dalam membaca dan menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadis, kesantunan dan kreativitas dalam presentasi, penghindaran konten bohong dan yang bisa menyulut kebencian.

Sedangkan tim pengawas yang akan dibentuk itu nantinya bertugas untuk menganalisis, menilai, dan mengevaluasi program dakwah di media elektronik. Tim yang sama juga akan melakukan pendampingan dalam proses pembuatan program dakwah, menginventarisasi program-program siaran dakwah yang melanggar kode etik dan nilai-nilai agama, serta menindaklanjuti aduan masyarakat.

Pernyataan Direktur Penerangan Agama Islam, Khoirudin, bisa mencerminkan latar belakang penyusunan kode etik tersebut.

"Sekarang ini masih ada dai yang suka menyampaikan ujaran-ujaran kebencian hanya karena beda paham. Juga ada yang masih senang dengan ungkapan kasar atau tidak pantas", kata Khoirudin seperti dikutip di situs web Direktorat Jenderal Bimbingan Islam. Padahal, menurut Khoirudin, dakwah itu harus mempertimbangkan maslahat, menghargai kelompok lain, tidak menjelek-jelekan paham atau agama lain.

Kode etik tertentu, kita tahu, adalah panduan bertindak dan berperilaku bagi kaum profesional di bidang tertentu yang bersandar kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika utama dalam suatu organisasi.

Oleh karena itu, menuangkan hasrat untuk mengatur pendakwah ke dalam bentuk kode etik, seperti yang dilakukan oleh Kemenag ini, sebetulnya merupakan pilihan yang aneh. Sebab Kemenag bukanlah organisasi profesi bagi para pendakwah. Bahkan orang bisa berdebat panjang untuk memastikan apakah pendakwah tergolong profesi atau bukan.

Jika bermaksud mengontrol pendakwah beserta konten yang disiarkan di media elektronik, Kemenag telah salah memilih instrumen. Kode etik bukanlah instrumen hukum yang bisa dipakai oleh negara untuk mengontrol publik. Kode etik hanya punya kekuatan memaksa bagi anggota organisasi yang merumuskan dan menerapkannya saja.

Lagi pula pengaturan dan pengawasan di bidang penyiaran -termasuk kontennya- sudah menjadi lingkup penanganan Komisi Penyiaran Indonesia.

Penyusunan Kode Etik Siaran Dakwah di Media Elektronik tidak terlepas dari rentetan peristiwa sebelumnya. Pada akhir Januari lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengangkat isu tentang sertifikasi khatib. Pada akhir April, Menteri Agama mengeluarkan seruan tentang ceramah di rumah ibadah.

Kesemuanya itu terkait dengan praktik politik yang memakai dakwah agama sebagai cara untuk memperoleh dukungan pemilih. Cara ini sangat jelas terlihat dalam Pemilihan Presiden 2014 dan memperlihatkan bentuknya yang terang-terangan, keras, kasar dan masif pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.

Harus diakui, pada masa pemilihan itu, berbagai bentuk penggalangan dukungan cenderung menggerogoti kohesivitas sosial masyarakat kita. Isu-isu yang muncul selama periode kampanye memang cenderung mempertentangkan satu pihak dengan pihak lain secara tajam dan vulgar.

Sepanjang masa pemilihan itu, informasi dan komunikasi adalah bidang yang cukup menentukan. Tentu hal itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa media sosial cukup dominan mempengaruhi percakapan dan persepsi masyarakat saat ini. Itu lumrah saja.

Yang mengkhawatirkan adalah pada saat masyarakat diberondong dengan informasi bohong dan cara komunikasi yang cenderung bernada menghasut. Praktik politik yang busuk seperti itu bahkan tidak terhenti selepas dua pemilihan itu berakhir. Sebagian besar warga masyarakat kita, dengan literasi media yang rendah, sudah barang tentu terpapar parah.

Pemerintah, sebagai lembaga eksekutif negara, tampak kedodoran dan tidak terlalu sigap merespon kecenderungan politicking yang tidak sehat dan mengancam keutuhan masyarakat kita itu; bahkan seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Belakangan pemerintah memilih penegakan aturan dan hukum yang bersifat represif untuk mengatasi persoalan tersebut. Sejumlah penghasut, penyebar kabar bohong dan jaringannya diungkap dan diproses secara hukum. Kita sedang menantikan pengadilan atas sejumlah kasus-kasus semacam itu.

Pengendalian persoalan-persoalan sosial yang muncul dari kegiatan politik saat ini tampak cenderung lebih diserahkan kepada pendekatan penegakan peraturan dan hukum yang ketat dan cenderung represif. Penyusunan Kode Etik Siaran Dakwah di Media Elektronik oleh Kemenag adalah cerminan dari pilihan pemerintah itu.

Pendekatan represi untuk menegakkan hukum dan ketertiban tentu bisa diterima dalam situasi tertentu dan sejauh bersandar kepada hukum yang adil. Namun, terus menerus memakai pendekatan represi untuk mengatasi persoalan hanya akan mengancam demokrasi serta penghormatan kepada perbedaan.

Agar demokrasi tidak terancam oleh kecenderungan melakukan pengendalian yang berlebihan itu, pemerintah harus lebih memberikan perhatian kepada upaya untuk memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan perang informasi dan propaganda dalam kontestasi politik dalam negeri.

Dengan ketahanan yang memadai, warga masyarakat akan lebih dingin, teliti, dan cermat dalam mencerna informasi dan berbagai ajakan sehingga bisa terhindar dari jebakan hasutan yang mempertentangkannya secara berbahaya dengan warga yang lain.

Selama tidak berlebihan, penyusunan aturan masih diperlukan. Penegakan hukum sudah barang tentu harus dijalankan. Namun membangun karakter dan ketahanan masyarakat melalui literasi media pun sama sekali tak boleh diabaikan.


Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/pengendalian-yang-berlebihan-bisa-mengancam-demokrasi

Jaringan

Kontak