Amerika Serikat kembali bersitegang dengan Rusia. Ketegangan itu semakin kentara ketika Amerika Serikat memutuskan untuk memberikan sanksi kepada Rusia.
Menanggapi sanksi itu, Presiden Vladimir Putin pada akhir Juli lalu memerintahkan 755 staf diplomatik AS untuk ditarik dari Rusia. Merespons hal itu, AS memerintahkan Rusia untuk menutup konsulatnya di 3 kota: San Francisco, Washington DC, dan New York. Rusia menyebut penutupan ketiga konsulatnya itu sebagai "tindakan bermusuhan".
Salah satu penyebab pemberian sanksi kepada Rusia itu adalah dugaan campur tangan Rusia dalam Pemilihan Presiden AS 2016. Di dalam negeri AS, penyelidikan atas kasus campur tangan Rusia itu masih terus berlangsung.
Dalam penyidikan itu, tiga orang telah dijadikan tersangka. Yaitu, Paul Manafort, Rick Gates, dan George Papadopoulos. Manarof adalah mantan manajer kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Gates adalah wakil Manarof. Sedangkan Papadopoulos, yang telah mengaku bersalah, adalah mantan penasihat bidang luar negeri tim kampanye Trump.
Manafort dan Gates didakwa melakukan 12 kasus kriminal. Salah satunya adalah konspirasi melawan AS. Itulah dakwaan yang paling berat bagi keduanya.
Campur tangan sebuah negara di dalam pemilihan presiden negara lain adalah tindakan yang membahayakan kemerdekaan negara lain. Penyidikan atas campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 itu memperlihatkan kepada kita bahwa cara-cara intervensi dan infiltrasi negara lain terhadap sebuah negara berdaulat jauh lebih halus -dan bahkan mungkin tidak terasa- ketimbang cara-cara lama.
Pilpres AS 2016 memperlihatkan bahwa media sosial berpotensi memberikan jalan bagi intervensi dan infiltrasi tersebut. Dalam kaitan itu, Senat AS menggelar sejumlah pertemuan dengan perwakilan Facebook, Twitter, dan Google.
Sejauh ini terungkap bahwa Twitter menemukan 2.752 akun yang terkait dengan agensi yang sama asal Rusia. Selain itu, Twitter juga menemukan bahwa ada sekitar 1,4 juta tweet otomatis mengenai pemilu AS.
Google juga mengaku telah dipakai untuk menyebarkan berbagai unggahan yang berasal dari Rusia. Lebih dari 1.000 video, menurut Google, telah diunggah ke Youtube oleh mereka yang disebut sebagai kaki tangan rusia.
Sementara Facebook menyebutkan ada 470 akun yang dikoordinasikan oleh organisasi yang disebut sebagai Internet Research Agency (IRA). Organisasi yang berpusat di St. Petersburg dituduh sebagai kaki tangan Rusia di AS. Organisasi itu juga dikenal sebagai kelompok yang bisa menggiring suatu isu menjadi kontroversi dan menggiring polarisasi di tengah masyarakat.
Sepanjang Juni 2015 sampai Agustus 2017 IRA telah mengunggah 80 ribu konten di platform Facebook. Menurut Facebook, dari Juni 2015 sampai Mei 2017, kelompok penyesat informasi yang terkait dengan Rusia telah menghabiskan USD100 ribu untuk membayar iklan. Masih ada USD50 ribu lain yang dibelanjakan untuk iklan serupa dari kelompok yang berbeda.
Dalam periode sebelum Pilpres, IRA diperkirakan telah menghabiskan USD46 ribu untuk pemasangan iklan di Facebook. Itu memang berjumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran Trump dan Hillary untuk pemasangan iklan di Facebook, yang mencapai USD81 juta.
Meski begitu, iklan yang dipasang di Facebook itu dilihat oleh 11,4 juta. Jauh lebih besar lagi dari itu, konten yang diunggah secara biasa oleh IRA berhasil menjangkau 126 juta warga AS. Itu bukanlah jumlah yang kecil, dan belum termasuk 20 juta pengguna Instagram yang juga ikut terjangkau.
Padahal konten-konten itu dirancang untuk membuat perpecahan di tengah masyarakat -termasuk dalam bentuk hoax dan berita palsu. Isu-isunya sengaja dipilih sedemikian rupa agar gesekan di tengah masyarakat lekas tersulut, seperti isu tentang kepemilikan senjata, aktivisme politik warga kulit hitam, imigran gelap, dan sejenisnya. Di Facebook, konten-konten itu disebar lewat akun, page dan grup.
Rabu (1/11) lalu Senat AS merilis sejumlah iklan yang pernah dipakai oleh kelompok Rusia di Facebook. Iklan itu, digambarkan The Washington Post, sebagai memberikan gambaran sepenuhnya tentang bagaimana aktor asing berusaha mempromosikan Donald Trump dari Partai Republik, yang merendahkan Demokrat Hillary Clinton dan memecah belah warga Amerika lewat sejumlah isu sosial paling sensitif di negara tersebut.
Sangat terlihat bahwa iklan-iklan itu mengobarkan kemarahan dan kecemasan, dan menarget pirsawannya dengan sangat presisi.
Dalam beberapa segi, pengalaman Pilpres AS 2016 itu mengingatkan kita kepada situasi Pilkada DKI 2017 lalu. Media sosial telah menjadi salah satu jalan yang bisa dipakai untuk menyulut pertentangan -yang menjurus kepada gesekan- sosial dalam kontestasi politik.
Namun yang lebih penting, pengalaman Pilpres AS 2016 itu mengingatkan bahwa kita harus selalu waspada terhadap benih-benih upaya mempertentangkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain dalam suatu kontestasi politik dalam negeri.
Bukan tidak mungkin cara yang dipakai di pemilu AS tersebut akan direplikasi pihak tertentu dalam pemilihan presiden Indonesia pada 2019 mendatang. Efek paling serius adalah pertentangan -apalagi konflik- di antara para pendukung kelompok politik bisa memberikan jalan bagi pihak luar untuk menungganginya demi kepentingannya sendiri.
Pertentangan yang tajam, yang menjerumuskan kita kepada perpecahan, bisa membukakan pintu secara halus kepada campur tangan dan penyusupan pihak-pihak di luar kepentingan kita sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat.
Sekali lagi, perlu upaya yang serius untuk memperkuat ketahanan informasi dalam masyarakat kita. Literasi media adalah keharusan. Penyelenggara pemilu di sini, juga mesti bisa lebih antisipatif membuat peraturan terkait kampanye di media yang rentan dengan infiltrasi penyesatan informasi.
Pada saat yang sama negara juga bertanggung jawab untuk memastikan tersedianya informasi yang akurat dan valid, yang mudah diakses oleh warga negara untuk memverifikasi informasi yang beredar di tengah masyarakat.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/mewaspadai-intervensi-dan-infltrasi-lewat-media-sosial