Dalam dua hari pertama program nasional registrasi kartu ponsel prabayar menunjukkan gelagat yang baik. Setidaknya, sampai Rabu (1/11) sore lalu, jumlah pelanggan kartu ponsel prabayar yang sudah meregistrasikan nomornya dengan kombinasi NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan nomor KK (Kartu Keluarga) mencapai 30.201.602 kartu ponsel.
Itu angka yang tidak sedikit, dan merupakan capaian yang bagus. Gelagat bagus yang dicapai oleh program nasional registrasi kartu ponsel prabayar kali ini jelas bukanlah perkara mudah. Terlebih program ini bukanlah untuk pertama kalinya dilangsungkan. Program ini dijalankan sejak 2005, dan tak pernah terdengar keberhasilannya sebelum kali ini. Pasti sulit meyakinkan masyarakat untuk mempercayai sebuah program nasional yang pernah tidak sukses sebelumnya.
Bersamaan dengan gelagat baik yang ditunjukkan pada hari-hari pertama program nasional tersebut, pemerintah tampaknya harus mengevaluasi strategi komunikasi yang dijalankan dalam program nasional tersebut. Kerja komunikasi dalam melangsungkan program nasional registrasi kartu ponsel prabayar kali ini tampak tidak memadai sehingga memicu kebingungan di tengah masyarakat.
Melihat pentingnya tujuan program tersebut bagi masyarakat pengguna ponsel maupun industri telekomunikasi, pemerintah -dan industri yang terkait dengan program ini- seharusnya membuat persiapan yang lebih baik sebelum program tersebut dilangsungkan. Selain menyiapkan infrastruktur yang handal untuk menangani registrasi yang bakal masif, pemerintah dan industri seharusnya mempersiapkan strategi komunikasi yang baik agar tidak ada celah yang bisa membingungkan masyarakat.
Ketidaksiapan pemerintah dan industri itu tampak dari kebingungan masyarakat pada hari-hari menjelang dimulainya program nasional registrasi kartu ponsel prabayar. Kebingungan-kebingungan itu bisa jadi terkait dengan apa yang disebut pemerintah sebagai hoax.
Pemerintah, lewat Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemkominfo Ahmad Ramli, menyebut ada 3 hoax yang beredar di masyarakat terkait registrasi kartu ponsel prabayar. "Satu, mengenai tidak wajib registrasi kartu SIM. Kedua adalah bahwa pendaftaran kartu SIM terakhir adalah pada 31 Oktober. Ketiga adalah hoax bahwa operator akan menyalahgunakan data dari pelanggan," kata Ahmad Ramli dalam konferensi pers.
Selain ketiga hal tadi, beredar pula informasi yang dianggap hoax tentang keharusan mencantumkan nama ibu kandung dalam proses registrasi. Belum lagi beredar berbagai desas-desus yang mengaitkannya dengan politik aliran dan Pilpres 2019.
Kalau kita cermati, kebingungan masyarakat itu tidak sepenuhnya disebabkan oleh hoax yang beredar. Bahkan beberapa hal sebetulnya lebih pantas disebut sebagai informasi yang tidak memadai ketimbang sebagai hoax.
Pada awal beredarnya, informasi tentang program registrasi tersebut sangatlah tidak memadai dan tidak menyeluruh. Misal, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang lengkap perihal sanksi yang dijatuhkan kepada mereka yang tidak melakukan registrasi. Kurangnya informasi mengenai hal tersebut -ditambah dengan pengalaman registrasi pada fase sebelumnya yang tidak bersanksi apapun- memunculkan anggapan bahwa registrasi tersebut tidak bersifat wajib.
Pemerintah dan industri juga tidak sejak dini menyiapkan informasi dan penjelasan yang transparan dan memadai perihal keamanan data yang dikirimkan dalam proses registrasi tersebut. Bahkan sampai hari ini pun pemerintah dan industri belum sungguh transparan menyuguhkan informasi perihal keamanan data pengguna ponsel tersebut.
Sejauh ini industri seolah berlindung dengan pernyataan bahwa semua operator diwajibkan untuk mengikuti ISO 27001 tentang keamanan manajemen sistem informasi oleh Kementerian Kominfo. Namun tidak ada pernyataan yang memastikan apakah semua operator sudah memenuhi kewajiban itu.
Informasi yang beredar di masyarakat mengenai penggunaan nama ibu kandung dalam registrasi pun tidak bisa dikategorikan sebagai hoax. Ketentuan itu memang ada dalam Peraturan Menteri Kominfo No 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Nama ibu kandung adalah salah satu opsi selain nomor Kartu Keluarga yang harus disertakan dalam registrasi bersama dengan NIK.
Peraturan itu diubah menjadi Peraturan Menteri Kominfo No 14 Tahun 2017. Nama ibu kandung tidak lagi menjadi opsi dalam registrasi, namun tetap saja muncul dalam lampiran peraturan tersebut sebagai contoh format surat pernyataan.
Peraturan Menteri Kominfo No 14 Tahun 2017 diundangkan pada 5 September 2017. Namun sampai pertengahan Oktober masih ada operator seluler menyodorkan isian nama ibu kandung sebagai opsi dalam formulir registrasi online di situs webnya.
Semua ini menunjukkan bahwa kesimpangsiuran informasi yang membingungkan masyarakat berasal dari lemahnya koordinasi antara industri sebagai operator dan pemerintah sebagai regulator, informasi yang tidak memadai dan tidak transparan. Hal itu menunjukkan lemahnya strategi komunikasi pemerintah.
Bukan cuma berpotensi menggagalkan program tersebut, lemahnya strategi komunikasi itu membuka peluang munculnya hoax yang menunggang event program tersebut. Kesimpangsiuran informasi adalah habitat paling ideal untuk berkembang dan menyebarnya hoax.
Kelompok-kelompok kepentingan yang terbiasa mempersenjatai diri dengan hoax tampaknya jauh lebih sigap. Kali ini kita menyaksikan sebuah eksperimen yang cukup berani dari penggunaan hoax: menuding dengan lugas bahwa informasi resmi dan akurat itu sebagai hoax. Informasi resmi perihal registrasi kartu ponsel prabayar justru dituding sebagai hoax. Maling teriak maling.
Selain membingungkan masyarakat, jurus hoax semacam itu sungguh berbahaya. Jurus itu ditujukan untuk menurunkan derajat kepercayaan masyarakat kepada informasi sahih. Di luar urusan keberpihakan kepada kelompok kepentingan manapun, jurus hoax semacam itu bisa membuahkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan kepada apapun.
Belajar dari pengalaman program registrasi tersebut, dalam kaitannya menjaga keutuhan masyarakat, pemerintah harus memperbaiki strategi komunikasi publik dan memperjelas strategi ketahanan informasi yang akan dikembangkan. Masyarakat yang sedang berubah seperti saat ini tidak cukup diladeni dengan cara-cara dan strategi komunikasi publik yang lawas -apalagi asal-asalan.
Dinamika dalam masyarakat kita menuntut kerja komunikasi publik yang tanggap dan sigap untuk memberikan informasi yang memadai, transparan dan disajikan secara tepat guna. Kelambanan dalam mengantisipasi maupun merespon, yang disebabkan oleh birokrasi yang rumit dalam pengambilan keputusan komunikasi, sudah tak bisa ditolerir.
Penguatan dan pemberdayaan lembaga dan pihak-pihak yang terkait dengan informasi dan komunikasi publik tak bisa ditawar lagi.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/kesimpangsiuran-hoax-dan-ketidaksiapan-pemerintah