Perkawinan anak tak cukup dicegah dengan gerakan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Jumlah perempuan di dunia yang menikah saat masih anak-anak ternyata besar. Sangat besar, tepatnya. Data UNICEF tahun 2016 menunjukkan angka lebih dari 700 juta perempuan.

Negara kita berada di posisi ke-7 dari urutan negara-negara dengan jumlah perkawinan anak yang tinggi. DI ASEAN, negara kita berada di posisi kedua setelah Kamboja

Data BPS 2014, yang dikutip Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin, menunjukkan bahwa anak perempuan yang menjadi korban praktik perkawinan anak berjumlah 722.518 orang. Itu artinya 34,23 persen dari dari jumlah perkawinan 2.110.776 orang pada tahun yang sama.

Dibandingkan dengan tahun 2013, angka tersebut memang memperlihatkan kasus perkawinan anak menurun pada 2014, dari 43,19 persen menjadi 34,23 persen. Namun penurunan itu tidaklah terlalu signifikan. Perkawinan anak di negeri kita tergolong tinggi. Data tahun 2015 menunjukkan bahwa satu dari lima perempuan di negeri kita telah menikah sebelum usianya mencapai 18 tahun.

Angka itu sangat tinggi -dan belum termasuk perkawinan yang tidak tercatat. Tidaklah berlebihan jika negara kita dianggap dalam keadaan darurat perkawinan anak.

Kesungguhan untuk mengatasi kasus perkawinan anak tak bisa ditunda lagi. Perkawinan anak berdampak ke berbagai sektor. Anak-anak putus sekolah karena pernikahan di usia belianya. Putus sekolah anak memberikan kontribusi kepada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia.

Perkawinan anak juga memberikan dampak tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Seperti dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, "AKI di Indonesia saat ini 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012), dan Indonesia telah menempati posisi yang tinggi AKI dan AKB jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya."

Dari sisi kesehatan, perkawinan anak memang sangat berisiko. Kehamilan yang terjadi pada usia anak memiliki risiko medis yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Kanker rahim adalah salah risiko yang dihadapi mereka yang hamil dalam usia anak.

Karena memutus anak dari akses pendidikan dan kesehatan seperti itu, perkawinan anak jelas mengancam kualitas bonus demografi masyarakat kita yang sebentar lagi tiba pada puncaknya. Kesuksesan bonus demografi sangat tergantung kepada kualitas akses orang muda kepada pendidikan dan kesehatan sehingga jika kasus perkawinan anak tersebut masih terus berlanjut dan meningkat maka kita patut merasa cemas.

Salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan kasus perkawinan anak adalah kemiskinan. Di beberapa kasus, perkawinan anak dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi kemiskinan sebuah keluarga. Meskipun faktanya, banyak perkawinan anak justru melanggengkan kemiskinan.

Ilustrasi menarik pernah disampaikan oleh Zumratin, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan. Menurut Zumratin, 50 persen perkawinan anak akan bercerai setelah satu tahun. "Mengapa? karena orang tua si ibu sudah menambah beban cucu, ini menambah lingkaran kemiskinan," kata Zumratin.

Selain itu, meskipun sangat terkait dengan kemiskinan, perkawinan anak tidak selalu identik dengan daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Analisa atas data perkawinan usia anak yang bersandar kepada hasil Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa "prevalensi perkawinan usia anak yang tinggi terdapat pada provinsi dengan tingkat kemiskinan yang relatif rendah."

Perkawinan anak juga terjadi pada keluarga kaya. Selain di pedesaan, perkawinan anak juga terjadi di perkotaan. Itu memberikan gelagat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi tetap tingginya perkawinan anak di masyarakat kita.

Norma sosial dan budaya tertentu juga punya andil dalam kasus perkawinan anak. Studi lain menyebutkan bahwa, selain buruknya akses atas hak kesehatan reproduksi seksual, naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas dan takut akan zina juga sangat mempengaruhi perkawinan anak.

Itu artinya, selain upaya-upaya advokasi terhadap orang tua dan anak, langkah-langkah politik terkait regulasi juga harus dikerjakan secara nyata. Salah satunya adalah merevisi Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang tersebut memperbolehkan perempuan berumur 16 tahun untuk melangsungkan pernikahan. Padahal dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan." Belum direvisinya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membuat regulasi mengenai perlindungan anak menjadi tumpang tindih.

Permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1), pernah dilayangkan pada 2014. Gugatan dimaksudkan untuk menaikkan usia minimal perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan itu.

MK menilai pasal yang diujikan itu tidak melanggar konstitusi. Ketentuan mengenai batas minimal usia yang boleh melangsungkan pernikahan diserahkan kepada pembuat undang-undang.

Gugatan atas Undang-undang Perkawinan itu kembali diajukan pada tahun ini. Gugatan yang diajukan oleh korban-korban perkawinan anak itu saat ini sudah tahap menunggu sidang pleno.

Langkah politik pemerintah untuk merevisi Undang-undang Perkawinan atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengatasi tumpangtindihnya perhatian kita kepada perlindungan anak harus dilakukan secara nyata.

Menteri PPPA Yohana, Jumat (3/11/2017) mencanangkan gerakan "Stop Perkawinan Anak". Gerakan ini tentu bermaksud baik, agar masyarakat ikut ambil bagian dalam menghentikan perkawinan anak.

Namun sesungguhnya gerakan tanpa landasan hukum, jelas tidak cukup untuk menekan secara signifikan tumbuhnya kasus perkawinan anak. Langkah politik pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi situasi darurat ini.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/perkawinan-anak-tak-cukup-dicegah-dengan-gerakan

Kontak