Pengesahan paket tiga undang-undang peradilan -Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara- pada 2009 disambut baik oleh banyak pihak. Salah satu perubahan besar yang terdapat dalam ketiga undang-undang itu adalah pola rekrutmen calon hakim.
Sebelum ketiga undang-undang tersebut disahkan, hakim direkrut secara mandiri oleh Mahkamah Agung (MA). Pola rekrutmen yang tidak memberi gelagat tranparansi itu sering kali dituding penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktik itulah yang sering dianggap sebagai faktor yang membangun dan melanggengkan dinasti hakim: orang tua dan anak secara turun temurun menjadi hakim.
Ketiga undang-undang peradilan yang baru itu mengamanatkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam proses rekrutmen calon hakim. Dengan adanya dua pihak -MA dan KY, rekrutmen diyakini akan lebih fair, akuntabel, dan transparan.
Itu sebabnya banyak pihak cemas ketika beberapa hakim agung yang tergabung dalam IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) mengajukan uji materi (judicial review) atas ketiga undang-undang peradilan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2015. Uji materi tersebut mengancam semangat keterbukaan dalam ketiga undang-undang peradilan tersebut.
Dalam gugatannya, IKAHI meminta agar KY tidak lagi dilibatkan dalam seleksi pengangkatan hakim. Keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim, menurut IKAHI, bisa mengganggu independensi hakim.
Gugatan itu memunculkan sejumlah pertanyaan. Apa motivasi IKAHI atas gugatan itu? Apakah IKAHI memiliki legal standing? Bagaimana KY bisa memengaruhi kemandirian hakim lewat proses seleksi? Tidak kah pasal-pasal yang dipersoalkan oleh IKAHI itu merupakan ranah open legal policy pembentuk UU?
Saling memberi argumentasi tidak hanya berlangsung dalam sidang uji materi. Perdebatan-perdebatan juga berlangsung di media.
MK mengabulkan gugatan IKAHI pada 7 Oktober 2015. Dengan begitu KY tidak lagi diikutsertakan dalam rekrutmen hakim.
Pada Februari tahun ini, Ketua MA Hatta Ali menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo sudah memberikan respons atas permintaan MA terkait kebutuhan penambahan hakim. Menurut Hatta, kebutuhan itu sangat mendesak
Istana memberi sinyal baik atas permintaan itu. Awalnya calon hakim yang akan direkrut hanya disebut berjumlah 500 orang.
"Kekurangan hakim yang sudah tujuh tahun moratorium, Presiden sepakat bahkan sudah meminta kepada Menpan. Prinsip sudah selesai dan tinggal ditindaklanjuti oleh Menpan penambahan hakim, hakim baru yang jumlahnya Pak IKAHI yang tahu. Tapi cukup, 500-an (hakim) lebih minimal untuk gelombang pertama ini," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona H. Laoly pada Maret lalu.
Untuk keperluan rekrutmen itu, Ketua MA mengeluarkan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. Peraturan tersebut mempertegas bahwa rekrutmen dilakukan secara internal. Peraturan itu dikeluarkan untuk mengisi kekosongan payung hukum perekrutan hakim sebagai pejabat negara.
Sejumlah pihak menyoroti metode perekrutan internal tersebut. MA diminta untuk melibatkan pihak lain dalam rekrutmen itu. Ada juga yang meminta agar MA menunda rekrutmen, menunggu penyelesaian dan pengesahan RUU Jabatan Hakim, yang menjadi payung hukum yang kuat dalam merekrut hakim sebagai pejabat negara.
MA bergeming. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah memberikan persetujuan prinsip formasi untuk calon hakim tahun 2017, sejumlah 1.684 orang.
Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk calon hakim tersebut menyediakan tiga jalur. Pertama jalur umum, dengan kuota sebanyak 1.484 formasi. Kedua, jalur lulusan cumlaude, dengan kuota sebanyak 168 formasi. Ketiga, jalur putra-putri Papua dan Papua Barat, dengan kuota sebanyak 32 formasi.
MA menjamin, tidak akan ada kecurangan dalam seleksi calon hakim tersebut. Dalam proses seleksi itu MA hanya mengambil porsi tahap wawancara saja, dengan bobot penilaian 25 persen, yang diperketat untuk menghindarkan praktik KKN. Selebihnya, menjadi kewenangan Panitia Seleksi Nasional.
Dari 301.175 pendaftar, yang lulus seleksi berjumlah 1.607 orang. Itu artinya, ada kuota yang tidak terpenuhi.
Yang patut kita sesalkan, muncul dugaan pungutan liar dalam proses seleksi itu. Media Tempo melaporkan bahwa ada sejumlah peserta seleksi yang bersaksi tentang pegawai pengadilan yang menawarkan bantuan untuk mengangkat nilai tes kompetensi bidang menjadi lebih baik. Sebagai imbalannya, mereka meminta Rp600 juta sampai Rp650 juta per calon hakim.
Dugaan praktik KKN dalam rekrutmen calon hakim itu tidak cukup direspons dengan pernyataan-pernyataan bantahan. Dugaan itu harus diusut tuntas, dan hasilnya disampaikan kepada publik.
Pengusutan atas dugaan itu sangatlah penting. Jika dugaan itu sungguh terjadi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan kepada peradilan. Masyarakat akan menyangsikan keputusan dari seseorang yang mendapatkan jabatan hakim lewat jalur suap.
Jika dugaan itu nantinya tidak terbukti pun, MA tetap harus segera mengerjakan pekerjaan rumah lamanya: membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Memang tidak mudah, tapi harus dilakukan.
Pengalaman ini seharusnya menjadi isyarat bagi pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan RUU Jabatan Hakim, yang akan menjadi payung hukum bagi--salah satunya--rekrutmen hakim yang fair, akuntabel, dan transparan. Pada saat yang sama, sudah sepantasnya MA menahan diri untuk tidak melakukan perekrutan sebelum RUU tersebut selesai agar tidak ada lagi pandangan miring atas praktek rekrutmen hakim.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/usut-tutas-dugaan-pungutan-liar-dalam-seleksi-calon-hakim