KPK dalam serangan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

Masyarakat sedang menyaksikan pertarungan hukum yang gigih. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di satu pihak, yang sedang berupaya membongkar secara tuntas kasus korupsi e-KTP. Setya Novanto, di pihak lain, salah seorang yang pernah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi e-KTP itu.

Ketika namanya disebut-sebut pada awal penyidikan kasus e-KTP, banyak orang berspekulasi bahwa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu akan mampu mengelak dari jeratan hukum. Novanto dikenal sebagai orang yang sangat tangkas ketika berhadapan dengan kasus hukum.

Sebagian warga masyarakat menduga bahwa Novanto tidak akan bisa berkutik ketika KPK menetapkannya sebagai salah satu tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Namun sebagian warga masyarakat lainnya meyakini bahwa Novanto akan melakukan perlawanan yang gigih; tak mungkin berdiam diri.

Nyatanya, perlawanan hukum diperlihatkan oleh Novanto. Ia mengajukan praperadilan atas status tersangka dirinya. Tentu saja, seperti warga negara Indonesia lainnya, Novanto memiliki hak untuk mengajukan praperadilan.

Hakim Cepi Iskandar mengabulkan gugatan Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir September lalu. Dalam amar putusan sidang gugatan praperadilan itu hakim Cepi menyebutkan, "Mengadili mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian. Menyatakan penetapan status tersangka Setya Novanto adalah tidak sah. Memerintahkan pada termohon (KPK) untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto."

Sidang praperadilan tidaklah menyangkut perbuatan pidana yang disangkakan. Pengabulan gugatan di sidang praperadilan itu tidak berarti bahwa pengadilan telah menyatakan Novanto terbebas dari sangkaan pidana. Esensi praperadilan, seperti disampaikan Mahkamah Agung dalam keterangan tertulisnya, hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka.

Meski gugatan Novanto di sidang praperadilan dikabulkan, KPK tidak kehilangan kegigihannya. Lembaga ini meyakini bukti yang dimilikinya atas keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi e-KTP. Langkah pertama yang dilakukan oleh lembaga antikorupsi itu adalah memperpanjang pencegahan Novanto ke luar negeri.

Pencegahan pertama dilakukan pada pertengahan April 2017. Karena sudah berakhir, KPK kembali mengirimkan kepada Ditjen Imigrasi permohonan pencegahan ke luar negeri bagi Novanto pada Oktober. Oleh salah satu kuasa hukum Novanto, langkah KPK itu semula hanya dipandang sebagai langkah yang tidak etis saja.

"Memang itu hak dan kewenangannya KPK, cuma secara etika itu tidak patut untuk diajukan lagi pada masa tenggang, kecuali kalau masa tenggangnya sudah habis," kata Amrul Khair Rusin -salah satu kuasa hukum Novanto- seperti dikutip Republika.

Namun sikap menjadi berbeda ketika KPK secara pelan-pelan memperlihatkan kegigihan untuk menarik kembali Novanto ke pusaran kasus e-KTP setelah kasus itu semakin dikembangkan. Novanto berkali-kali dipanggil kembali untuk diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Berkali-kali pula Novanto mangkir dari panggilan tersebut dengan berbagai dalih.

Terkait dengan pencegahan ke luar negeri itu, pengacara Novanto awal Oktober lalu melaporkan dua pemimpin KPK -Agus Rahardjo dan Saut Situmorang- ke polisi dalam kasus penggunaan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang.

Upaya hukum kubu Novanto itu sudah tidak lagi bisa digolongkan sebagai jurus bertahan atau berkelit dari pihak yang terkait dengan masalah hukum. Melaporkan dua pemimpin KPK seperti itu sudah tergolong jurus serangan. Jika kedua pemimpin KPK itu memasuki proses pengadilan atas pelaporan tersebut, maka hampir bisa dipastikan bahwa proses pengungkapan kasus-kasus korupsi akan terhambat; termasuk pengungkapan secara tuntas kasus korupsi e-KTP.

Situasi menjadi serius karena polisi telah menaikkan status laporan tersebut dari penyelidikan menjadi penyidikan. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, penyelidik telah menemukan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP. Dua pemimpin KPK, Agus dan Saut, masih berstatus sebagai terlapor dalam kasus ini.

Situasi ini mengingatkan banyak warga masyarakat kepada beberapa situasi yang serupa terjadi pada KPK sebelumnya. Yakni pada saat sejumlah pemimpin KPK diseret ke dalam kasus hukum lain sebagai respon atas kasus yang ditangani oleh KPK. Kita mengenalnya dengan sebutan kasus "cicak versus buaya" -karena melibatkan ketegangan antara lembaga kepolisian dan KPK saat itu.

Apakah kasus pelaporan dua pimpinan KPK kali ini juga tergolong kasus "cicak versus buaya"? Kita tidak bisa gegabah menyebutnya demikian karena setidaknya -secara kasat mata- yang sedang melakukan pertarungan hukum secara gigih untuk menegakkan dan mendapatkan keadilan adalah KPK dan Setya Novanto.

Kita perlu mengapresiasi sikap hati-hati Kapolri Jenderal Tito Karnavian atas kasus ini. Dan memang kita sangat berharap polisi bersikap hati-hati, teliti, dan bijak dalam menangani kasus ini.

Bagaimanapun, masyarakat terlanjur tahu bahwa KPK memang mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan atas seseorang. Masyarakat juga terlanjur tahu bahwa pada sidang praperadilan yang lalu itu hakim tidak mengabulkan permohonan untuk mencabut pencegahan Novanto ke luar negeri. Itulah sebabnya banyak warga masyarakat merasakan keganjilan atas pelaporan terhadap pemimpin KPK yang melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Jika tidak ditangani secara teliti, hati-hati dan bijak, kasus ini berpotensi memicu kegaduhan dalam masyarakat kita. Bahkan bukan tidak mungkin, hal itu juga melukai rasa keadilan dan kepercayaan atas kepastian hukum di negeri kita.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/index.php/artikel/editorial/kpk-dalam-serangan

Jaringan

Kontak