rumahku terbakar
malah saat aku harus rebahkan badan
untuk sekedar mengail harapan
dimana hak kenyamananku?
atapnya kini tinggal debu
dindingnya kusam
meja kerjaku jadi arang hitam
dipan dan kasur tua tinggallah abu
bagaimana kupenuhi janji cintaku pada semesta
tanpa sebuah rumah
tempat segala tenaga kukumpulkan?
bapakku,
dengan tangannya yang keras
merangkul tanganku dan menyebut,
"bangkitlah
ribuan Nuh, sang rasul,
pernah kutanam dalam tubuhmu
karena air bah bagai nasib yang selalu mengintai setiap zaman"
dan ibuku,
perempuan dengan tangan halus
mengelus rambutku sambil berkata,
"kaca kita adalah alam
maka tengoklah matahari
ia tak pernah tangisi senjakala
ia harus tenggelam untuk membangun sinar paginya"
aku tepiskan dua tangan itu
aku bilang, tidak
kehormatan dan kemuliaan
bukan sebuah giliran
dan Nuh,
apakah Nuh membangun sampannya di dasar samodra?
oh betapa kejinya penipuan
dalam lagu yang mengagungkan kekosongan
aku terjebak untuk tak terjaga
rumahku terbakar
malah saat aku harus cium kening anak-anakku
untuk memberinya bara hidup
dimana hakku untuk membesarkan keriangan sebuah keluarga?
sofa tua itu hangus sudah
buku-buku dan mainan sang kanak tak bersisa
almari dan almanak tak berbentuk
dan tak akan pernah terdengar dering weaker pengingat waktu
tanpa sebuah rumah
apa jadinya aku di depan malam
apa jadinya aku di bawah bulan
apa jadinya aku di tengah kegamangan zaman
apa jadinya aku dalam kungkungan ulat dan belatung
apa jadinya aku di sela riuh rendahnya hujan
apa jadinya aku di belakang monumen raksasa yang bengis
apa jadinya aku di tanah tanpa pohonan
apa jadinya aku di hadapan senapan tanpa kepala dan dada
anak-anakku,
bocah-bocah dengan sorot mata jernih,
merengek-rengek,
"bapak,
ayo kita pergi ke surau
barangkali tuhan membagi-bagi kurma
barang sedikit saja"
dan istriku,
perempuan cantik dengan lesung di pipinya,
berbisik,
"akang,
siapa yang menyebar kutuk ini?
anak panah yang melukai siapa pun
selalu bermula dari busurnya
kenapa tak kau cari bunyi rentangannya?
temukan akang
biar hidup kita seperti desau angin di sela-sela hutan cemara"
aku terusik
aku jauhi mereka
aku bilang, tidak
surau atau bukan surau
sama saja
semua rumah tuhan
semestinya
karena hanya ada satu adam bagi satu dunia
dan kutukan,
semua orang telah dikutuk
untuk dilahirkan dan dimatikan tanpa pamit
oh betapa pahitnya terbelit dalam pikiran
tanpa sebuah rumah untuk merancang seluruh perjalanan
aku terjebak untuk tak bergeming dari semua reruntuhan
rumahku terbakar
manakala jawaban-jawaban dari segala tantangan
tersimpan di rumah
tanpa sebuah rumah
apa bedanya seorang lelaki
dengan puing-puing yang bertebaran?
Yogyakarta, 2 maret 1989