Sebuah Situs Berita Seketika

Sesungguhnya timeline itu tidak diperkenalkan oleh Twitter tapi, saya yakin, oleh Budiono Darsono. Atau Yayan Sopyan. Atau mereka berdua bersama. Saya lupa persisnya.

Waktu itu, 1997, melihat berita-berita hebat yang berdesakan muncul (kerusuhan, demo, bakar-membakar, drama politik di DPR dan di jalanan) serta sulitnya mendapat kabar paling akhir di media-media yang ada, Budiono (atau Yayan Sopyan) pun punya ide: membuat sebuah situs berita yang terus menerus di-update; beritanya pendek-pendek, sering dan seketika -- diberitakan saat itu juga tanpa menunggu lengkap.

Di situs berita itu wartawan harus melaporkan langsung saat kejadian, melalui telepon. Sedikit-sedikit, tak perlu menunggu habis. Semua berita yang masuk dianggap sama, tak ada yang utama atau kurang utama. Yang membedakan hanya waktu. Yang terbaru yang di atas, menggeser yang sebelumnya. Begitu seterusnya.

Dengan kata lain, sebuah timeline. Atau seperti kata seorang teman setelah melihat newsfeed Facebook: "Oh sekarang saya mengerti: detikcom itu semacam Status Update!"

Ya begitulah. Detikcom adalah update status aneka peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Detikcom adalah linimasa yang punya banyak admin, yaitu Budiono Darsono dan seluruh awak redaksinya.

Konsep seperti itu, waktu itu, tentu saja adalah konsep yang unik. Ketika untuk pertama kalinya (1999) saya berjumpa dengan seorang pengurus modal ventura, itulah hal pertama yang dikatakannya: di seluruh dunia, kata dia, tak ada media seperti detikcom. Satu-satunya. Bahkan CNN pun tak melakukannya. Apalagi media-media lain yang kebanyakannya cuma memunggah berita sehari sekali.

Mewujudkan konsep itu menjadi sebuah usaha tentu saja tak gampang. Pertama, darimana mendapat berita? Media online lain menggunakan konten dari media cetaknya atau membeli dari kantor berita. Detikcom terpaksa punya wartawan sendiri.

Maka pertanyaan berikut dari sang modal ventura: "Bagaimana itu mungkin? Apa tidak kemahalan?"

Saya jawab, kuncinya adalah jumlah berita per wartawan. Dalam model ini, wartawan harus ekstra produktif, mengirim belasan laporan per hari dan semua laporan harus layak baca, tak bisa seperti di media cetak yang bisa memuat tulisan tak layak cuma buat memenuhi halaman. Banyak berita, banyak halaman dibaca, maka satuan biaya untuk menghasilkannya pun jadi rendah, lebih rendah dari satuan harga iklannya.

Dilakukan di negara lain konsep ini mungkin tak bisa jalan. Tapi di Indonesia, karena di negara kita yang luar biasa luas dan kompleks ini suplai berita tak putus-putus, bisa. Apalagi kalau bentuk laporannya pendek-pendek.

Dan terbukti, meski tak mudah. Hanya butuh waktu 1 tahun buat detikcom untuk menjadi situs terpopuler di Indonesia; tapi untuk meraih laba pertamanya diperlukan waktu 5 tahun. Sesudah itu detikcom terus tumbuh dengan subur. Sampai sekarang.

Tapi kini zaman sudah berubah. Timeline sudah jadi hal biasa. Media-media Internet Indonesia banyak mengadopsi konsep tersebut. Twitter dipenuhi linimasa akun yang diikuti ratusan ribu hingga jutaan orang (*follower* detikcom hampir 2 juta). Dulu orang haus informasi dan bebondong-bondong mengunjungi detikcom. Kini orang dibanjiri informasi dan tak cukup punya waktu untuk mengikuti semuanya.

Pertanyaannya tentu saja: sampai kapan model linimasa detikcom ini bisa bertahan?


Sumber: detik.com





Kontak