Wajar kalau anak muda kurus itu merasa kasihan kepada perempuan yang baru saja memasuki gerbong kami. Perempuan bertubuh tambun itu menjinjing dua tentengan di tangan kanan kirinya.
Seberapa berat beban yang dibawa perempuan berumur 60 tahunan itu? Dia bergantian condong ke kiri dan ke kanan setiap melangkah. Bungkusan di tangannya selalu menarik bahunya.
Dia, perempuan itu, sempat menengok bangku prioritas yang tersedia di gerbong. Penuh. Dia langsung menuju ke ujung gerbong tempat kami -saya dan anak muda- itu menyenderkan punggung ke dinding gerbong.
"Ibu duduk saja di sana," kata si anak muda menunjuk bangku prioritas.
Si Ibu tersenyum. Dia tahu -saya juga tahu, penumpang di gerbong itu pun tahu, bangku itu sarat penumpang.
"Suruh saja anak itu berdiri," kali ini telunjuk anak muda itu mengarah ke lelaki remaja yang duduk santai di bangku prioritas.
Seorang petugas pengawalan kereta mendatangi si remaja dan memintanya memberikan tempat duduk itu kepada si Ibu. Tanpa merasa kecewa, si remaja berdiri cengengesan dan bergabung dengan teman-temannya di dekat pintu. Si Ibu duduk dan berterimakasih.
"Susah, Pak," kata si anak muda kepada saya, "anak itu pura-pura nggak tahu. Bangku itu kan buat orangtua."
Saya manggut-manggut saja.
"Di situ kan ada tandanya. Jelas banget. Bangku itu khusus buat orangtua, ibu hamil, atau yang bawa bayi. Pake pura-pura nggak lihat," katanya sambil mengambil botol minuman dari ranselnya.
Berkali-kali ia meneguk minumannya seperti ingin meredakan kejengkelannya.
Kali ini saya tidak manggut-manggut.
Tak sampai dua meter dari tempat si anak muda, tanda larangan makan dan minum di kereta jelas terlihat.
Kereta terasa lamban berjalan.