Ya, saya memang menulis buku “Mengedit Naskah Nonfiksi: Panduan Dasar Praktis Self Editing”. Tapi, seperti penulis lain, saya juga bertemu dengan godaan untuk mengedit naskah sebelum draf pertama naskah itu selesai. Itu godaan yang sering dihadapi banyak penulis.
Mengedit sebelum draf pertama selesai itu akan mengundang banyak masalah.
Kalau kita baru saja menanam bibit pohon, tapi bolak balik mengorek tanah untuk memastikan kesuburan tanah dan pertumbuhan akar, apa yang akan terjadi? Pohon itu tidak tumbuh dengan baik karena akarnya terganggu.
Menulis draf pertama juga seperti itu. Ketika kita terlalu cepat masuk ke mode mengedit, kita melambat. Ide-ide yang seharusnya mengalir malah terhambat karena kita sibuk memikirkan detail kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan nanti.
Itu akan membuat kita kehilangan momentum kreatif. Ketika kita berhenti menulis karena tergoda untuk mengedit, fokus kita pecah, dan alur cerita atau urutan informasi dan argumen yang tadinya mengalir bisa terhenti di tengah jalan.
Selain itu, kita akan mudah merasa frustrasi. Draf pertama, yang memang sifatnya mentah dan penuh kekurangan, jadi terlihat lebih buruk karena kita terlalu cepat menilainya. Ini bisa membuat kita ragu untuk melanjutkan.
Energi kita juga habis di awal. Mengedit itu melelahkan. Kalau terlalu dini mengedit, kita mungkin kehabisan tenaga sebelum naskah benar-benar selesai.
Godaan untuk mengedit sebelum draft pertama selesai itu muncul biasanya karena kita ingin tulisan kita terlihat bagus sejak awal. Padahal, draf pertama itu seharusnya jelek. Itu bagian dari proses.
Selain itu, kita sering terjebak dalam pola pikir bahwa draf pertama adalah versi akhir. Akibatnya, kita terlalu kritis terhadap diri sendiri.
Ada juga faktor rasa tidak percaya diri. Kita khawatir ide kita tidak cukup bagus, sehingga kita tergoda untuk terus memperbaiki sebelum ide itu benar-benar berkembang.
Namun, mengetahui penyebabnya saja tidak cukup. Kita perlu punya semacam strategi untuk menghadapi godaan ini.
Ini sekadar berbagi pengalaman saja, ya: ketika berniat menulis, saya menyiapkan diri untuk menerima kejelekan draf pertama. Saya tidak keberatan menghasilkan draf pertama yang buruk, dan kemudian dengan senang hati menandai bagian-bagian yang perlu dibenahi dalam proses mengedit nanti. Menurut pengalaman saya, kesiapan mental seperti itu sangat membantu menahan godaan mengedit sebelum draf pertama selesai.
Seperti sebuah perjalanan, proses menulis itu tidak selalu berjalan mulus. Kalau sebentar-sebentar kita berhenti untuk memperbaiki langkah kita sebelumnya, kita mungkin tidak pernah sampai ke tujuan. Jadi, draf pertama itu selalu harus diselesaikan dulu. Kita bisa menyempurnakannya nanti.
Bagaimanapun, perjalanan menulis selalu dimulai dari langkah pertama: menerima ketidaksempurnaan.