Kuping saya tidak punya persoalan. Setidaknya, saya merasa tidak tuli. Terkecuali, dua hal yang tidak bisa saya bohongi.
Pertama, kuping saya tiba-tiba seperti berisi 12 nyamuk yang merintih terus-terusan kalau seseorang mengajak saya berbicara dengan bahasa asing. Untunglah saya selalu ingat nasehat perempuan yang satu itu, "Mintalah teman bicaramu untuk mengulangi omongannya kalau kamu susah mendengarnya." Sebuah nasihat yang baik dan cukup mujarab untuk memperlancar obrolan. Jika saya tetap saja sulit menangkap omongan teman berbahasa asing itu meski ia sudah mengulanginya beberapa kali, maka saya harus merasa beruntung pada saat dia bersedia menuliskan kalimat yang diucapkannya.
Kedua, sewaktu masih bocah, kuping saya serasa menjadi tempat kawin ular dan lebah selagi saya menikmati nyamannya duduk di pangkuan Bapak yang berdoa sehabis shalat Magrib berjamaah. Saya nyaris selalu gagal menangkap doa yang diucapkan Bapak. Yang saya dengar cuma bunyi desisan dan dengungan. Padahal, sebagai bocah, saya iri melihat orang lain begitu fasih melafalkan doa sehabis shalat sambil duduk bersila dengan badan sedikit bergoyang-goyang.
Keirian itu tamat akhirnya, setelah saya mampu membaca dan mengambil sendiri uang di laci meja warung Bapak untuk membeli buku kumpulan doa. Bangga betul ketika saya bisa menghafal doa-doa itu. Mantap sekali rasanya karena buku itu menyediakan terjemahan untuk setiap doa yang ada di dalamnya.
Biarkanlah dulu urusan kuping saya itu. Otak saya sekarang sedang dikepung oleh ingatan tentang ucapan yang berkali-kali Bapak katakan, "Kamu pasti jadi anak pintar." Kenapa ia sebegitu optimis padahal waktu itu umur saya belum seberapa?
"Di pesantren tempat aku belajar," lanjutnya, "Kiai punya cara untuk membuat setiap anak bodoh menjadi lekas pintar". Waktu itu saya membayangkan, kiai yang memimpin pesantren tersebut memberi doa-doa atau semacam jimat yang akan membuat seorang bocah menjadi pintar mendadak.
Dugaan saya keliru! Menurut Bapak, sang Kiai dengan suara keras menyuruh setiap anak bodoh, "Ingatkan bapak kalian untuk membayar zakat!" Konon, anak-anak bodoh itu menjadi jauh lebih pintar sehabis bapak mereka tidak pernah lupa membayar zakat.
"Aku selalu membayar zakat. Jadi, kamu pasti akan jadi anak pintar, " Bapak meyakinkan saya. Saya manggut-manggut. Saya selalu merasa tenang dan nyaman kalau Bapak mengelus kepala saya. Jujur saja, saya masih terlalu bocah untuk bisa memahami cara kerja zakat dalam mencerdaskan seorang anak yang bodoh.
"Zakat mebersihkan harta kita. Harta yang bersih membuat semua yang kita pakai dan yang kita makan menjadi sehat dan bergizi lahir batin. Anak yang mendapatkan gizi yang baik lahir batin akan menjadi anak yang pintar." Begitu penjelasan Bapak. Sebagai bocah, saya cuma manggut-manggut lagi sambil menikmati wajahnya. Muka Bapak selalu terlihat lebih segar sehabis tersiram air wudlu.
Waktu itu saya tidak berani bertanya, "Apakah saya akan tetap akan menjadi anak pintar kalau saya sesekali masih mengambil uang di laci warung Bapak tanpa ijin?"