Jangan kaget jika sekarang Anda ke toko buku lalu disambut novel warna-warni khas remaja. Bertumpuk-tumpuk novel dengan gambar lucu-lucu itu menyergap remaja masa kini. Anak-anak sekolah pun berebut mengerumuninya. Anda memang tak berada di sebuah planet remaja. Ya, inilah dunia baru bernama teenlit (teenage literature). Para penulis muda itu pun kebanjiran penggemar dan tentu saja uang!
Tentu saja ini menjadi ladang baru bagi penulis amatir maupun remaja yang sering berimajinasi liar itu. Tak pelak saat sebuah acara lomba menulis digelar berduyun-duyun para remaja mengikutinya. Inilah yang terlihat saat Gramedia menggelar lomba menulis teenlit, setidaknya 400 penulis remaja ikut serta. Tentu saja lomba ini adalah jalan awal untuk merambah dunia teenlit yang masih terbuka lebar tersebut.
Kesempatan itu akhirnya jatuh pada Rossemary Kesaully dengan novel berjudul Kana di Negeri Kiwi, Hara Hope dengan Summer Triangle, dan Ken Terate dengan My Friend My Dreams. Nah, ketiganya berhasil menyabet juara dalam kejuaraan itu. Dibanding novel terdahulu, seperti Fairish karya Esti Kinasih dan Dealove karya Dyan Nurmanindya yang berkisah cinta, ketiga pemenang tadi mencoba berkisah tentang persahabatan.
Rosemary, yang menyabet juara satu, membuat novelnya berdasarkan pengalaman pribadi. Dara kelahiran Pulau Belitung ini sebenarnya bukan seorang remaja yang penuh dengan kegiatan. Kota kelahirannya yang cukup sepi itu membuat ia lebih akrab dengan buku-buku. Ia pun meluapkan idenya dalam bentuk karya tulis. Dan ia telah melalui dunia tulis-menulis ini selama 14 tahun. Rupanya otaknya yang cerdas membuat ia bisa pergi ke Selandia Baru untuk mengecap pendidikan SMA di sana. Pengalaman di Negeri Kiwi itulah yang membuat inspirasi menulisnya terus mengalir.
Dia pun berkisah tentang pergaulan beda budaya antaranak sekolah di sana. "Ke depan saya ingin menulis sastra yang lebih serius," ujar penggemar penulis India macam Arunda Tirai dan Jhumpa Lahiri yang memenangi Pulitzer pada tahun 2000 untuk kategori fiksi. Pintu menjadi terkenal juga terbuka buat Hara Hope. Menulis baginya telah dilakukan sejak menginjak bangku SMA. Saat itu, dirinya tinggal dalam sebuah asrama bersama rekannya. Cerita teman-temannya dituangkan dalam diary. Karena di buku harian itu tertuang berbagai cerita temannya, diary itu pun tak menjadi sebuah benda yang personal. "Bahkan teman saya sangat suka bila cerita mereka ditulis," kata Hara, yang saat ini bekerja di Mizan.
Semangat menulis Hara tumbuh pesat saat ia kuliah di Komunikasi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Apalagi komunitas yang ada di dekatnya adalah mereka yang ingin menjadi penulis. Hara mulai berani mengirimkan beberapa tulisannya ke media. Hal ini muncul karena dukungan teman-teman sekomunitas. "Kata senior saya, menulis itu ibarat menciptakan ludah. Setelah meludah tidak perlu lagi dipikirkan apa hasilnya," ujar Hara. Yang penting terus menulis saja, begitu kira-kira.
Kesukaannya pada astronomi menjadi latar membuat novel Proto Bintang dan Summer Triangle Ketika dirinya mempelajari astronomi, ada beberapa bintang yang bukan satu rasi. Tapi ternyata membentuk satu rasi bintang. Tebersit dalam otaknya untuk mengubahnya menjadi satu cerita. Hal ini dikuatkan oleh seorang temannya yang mengerti soal mitologi. Lantas dia pun menceritakan mitologi tentang rasi-rasi bintang itu. Akhirnya lahirlah karya Summer Triangle, tentang sebuah persahabatan dalam balutan mitos-mitos astronomi. Namun, Hara enggan menyebut karyanya ini sebuah fiksi ilmiah. Cukup novel remaja saja.
Ken Terate, yang saat ini sering berkeliling karena menjadi penerjemah, mengatakan hal senada. Novelnya berkisah dari pengamatan remaja yang ada di Yogyakarta. Dengan gaya bertutur Aku, Ken menceritakan soal pandangan seseorang bersekolah di kota Yogyakarta. Satu perbedaan pandangan antara anak Jakarta yang sekolah di Yogyakarta, seorang remaja dari pinggiran Yogya, dan remaja lain yang melarikan diri ke Yogyakarta karena masalah keluarga. Mereka sekolah di tempat yang sama dengan persepsi yang berlainan. Satu sisi lain tentang sebuah persahabatan.
Masalahnya, apakah teenlit ini hanya fenomena sesaat? Penulis novel Fairish, Esti Kinasih, mengkhawatirkan hal yang sama. Dia takut para remaja hanya ikut-ikutan dan ingin mendapat uang dengan cepat. "Kalau hanya demikian, saya sanksi mereka akan terus menulis," ujar Esti, yang tengah mempersiapkan novel tentang petualangan ABG naik gunung.
Maraknya novel-novel teenlit ternyata menjadi ladang baru bagi lembaga-lembaga yang membuka program pelatihan menulis. Setidaknya ada Jakarta School Mediakita yang ada di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Di sini ada program penulisan kreatif untuk orang muda. Program yang ditawarkan adalah penulisan kreatif, novel, dan lainnya. Awalnya lembaga ini hanya memberikan pelajaran inhouse saja. Mengingat maraknya penulisan fiksi, mereka akhirnya membuka diri lebih luas. "Kita melihat kebutuhan menulis ini bisa di mana saja," ujar Yayan Sopyan, founder Jakarta School Mediakita.
Nah, buat Anda atau anak Anda yang ingin mencoba peruntungan di dunia tulis menulis ada beberapa program yang ditawarkan. Di sini ada penulisan kreatif, penulisan skenario, dan penulisan novel. Hanya, Anda perlu menyiapkan kocek cukup tebal. Biaya yang ditawarkan hingga Rp 1,5 juta dengan beberapa kali pertemuan. Untuk penulisan kreatif dilakukan enam kali pertemuan setiap Sabtu. Penulisan skenario 12 kali pertemuan setiap sore dan malam. Jika ingin menulis novel, peserta wajib mengikuti 12 kali pertemuan tiap sore dan malam.
Minat masyarakat kini memang tinggi. Apalagi untuk penulisan novel, seperti teenlit dan chicklit. "Kebanyakan memang ingin menulis novel teenlit dan chicklit," ujarnya. Tertarik?