Tawa adalah cara manusia melepaskan tekanan dalam kehidupan yang kompleks. Namun kejenakaan memiliki dimensi sosial yang tidak sepenuhnya bebas dari nilai dan norma. Di balik tawa, terkadang tersembunyi relasi kuasa, dan dalam beberapa kasus, tawa justru menjadi alat untuk menegaskan superioritas atas orang lain.
"Kejenakaan tidak mungkin ada di luar apa yang khas manusia,” tulis filsuf Henri Bergson. Kejenakaan sering kali muncul dari "kehidupan mekanis dalam masyarakat," yaitu perilaku yang dianggap menyimpang dari norma atau terlalu kaku. Dalam konteks ini, tawa berfungsi sebagai mekanisme koreksi sosial, mengingatkan seseorang untuk kembali ke pola perilaku yang diterima bersama. Namun, koreksi ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak emosional atau psikologis bagi targetnya.
Lain urusannya ketika kejenakaan melibatkan olok-olok atau penghinaan. Fungsinya tidak lagi sekadar untuk menertibkan. Ia berubah menjadi alat kekuasaan yang mempertegas hierarki sosial—si pengolok-olok berada di atas, sementara targetnya menjadi tertawaan.
Keseimbangan dalam bercanda itu penting. Lewat konsep eutrapelia, Aristoteles mengingatkan, humor bisa menjadi kebajikan jika dilakukan dengan bijaksana. Sebaliknya, humor yang kasar atau merendahkan orang lain kehilangan nilai moralnya dan berubah menjadi bentuk kezaliman. Dalam olok-olok, misalnya, ada pergeseran dari fungsi humor yang seharusnya menghibur menjadi upaya menegaskan keunggulan diri atas penderitaan atau kekurangan orang lain.
Bagaimanapun manusia tidak layak diperlakukan sebagai alat. Itu prinsip. Humor yang mengeksploitasi atau merendahkan martabat seseorang melanggar prinsip ini, karena ia menjadikan orang tersebut sebagai objek hiburan, bukan subjek yang dihormati. Dalam humor semacam itu, tawa bukan lagi pelepas ketegangan, melainkan ekspresi dominasi.
Di ruang publik, terutama di era media sosial, dampak humor yang melukai dapat meluas dengan cepat. Humor yang dilihat sebagai "biasa saja" di satu konteks bisa memicu kemarahan di konteks lain. Media sosial memperbesar kekuatan tawa, tetapi juga memperbesar luka yang ditimbulkannya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, kita tidak hanya dituntut untuk tertawa, tetapi juga untuk memahami apa yang kita tertawakan dan siapa yang menjadi sasarannya.
Tawa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Namun, jika tidak dilandasi kebijaksanaan, tawa dapat menjadi wajah lain dari kekuasaan yang menindas. Di balik kejenakaan yang tidak terkendali, selalu ada risiko bahwa derita akan menyertai mereka yang menjadi sasarannya. Harga yang harus dibayar sering kali jauh lebih besar daripada manfaat hiburan sesaat, baik bagi individu maupun masyarakat yang mencoba menjaga martabatnya.
Pertama kali diterbitkan di Arina.id