Pada tahun 1866, Gustave Courbet membuat lukisan berjudul “L’Origine du Monde” (Asal Usul Dunia). Di lukisan itu Courbet menggambar bagian tubuh perempuan dari pinggang ke bawah dengan sangat eksplisit, menampilkan organ intim perempuan secara langsung dan mendetail. Karya itu kontroversial, memicu kemarahan, sekaligus menyulut diskusi tentang representasi tubuh dalam seni.
Lukisan karya Courbet itu adalah salah satu contoh kevulgaran dalam seni. Dalam arti menabrak standar tata krama dan sopan santun komunikasi formal yang berlaku di suatu budaya sehingga terasa mengganggu, kevulgaran dalam seni tidak melulu terkait dengan seksualitas. Ada yang menganggap karya-karya pelukis Francis Bacon juga mengandung elemen-elemen vulgar karena menghadirkan distorsi tubuh yang bertentang dengan standar kecantikan, menyajikan tema-teman sensitif yang dianggap tabu.
Instalasi dan lukisan karya Dadang Christanto mungkin juga dianggap vulgar di tengah narasi resmi peristiwa berdarah 1965 versi Orde Baru. Beberapa sajak pamflet Rendra juga mengandung pernyataan-pernyataan vulgar. Terbaru, beberapa lukisan Yos Suprapto dianggap vulgar karena menampilkan sosok telanjang bermahkota raja Jawa, yang berujung pembatalan pamerannya.
Bagaimana kevulgaran dalam seni itu harus direspons?
Jangan pernah tergesa-gesa menganggap semua kevulgaran dalam seni itu bertentangan dengan norma. Elemen vulgar dalam suatu karya seni harus dilihat konteksnya. Itu melibatkan pemahaman terhadap sejarah dan budaya yang melahirkan karya itu, serta - tentu saja- motif sang seniman dalam berkarya.
Kita bisa memaklumi kalau ada orang yang menganggap elemen vulgar itu melanggar norma ketika pembuatnya berniat mengobarkan dorongan cabul audiensnya dan merendahkan harkat manusia. Itu mungkin terjadi di industri pornografi.
Umumnya tidak begitu dalam konteks berkesenian. Apakah ada orang yang menjadi berpikir “ngeres” sehabis membaca sajak Rendra? Apakah sosok telanjang dalam karya Dadang Christanto mengarahkan pikiran orang menjadi cabul? Apakah mungkin ada pemirsa berberahi melihat sosok telanjang bermahkota raja Jawa di lukisan Yos Suprapto? Mustahil. Tidak ada.
Banyak seniman sering kali memakai elemen yang dianggap vulgar untuk menarik perhatian pada isu-isu yang mungkin diabaikan oleh masyarakat. Elemen vulgar disertakan dalam karya seni karena memiliki daya untuk memperkuat storytelling. Dalam narasi kreatif, elemen-elemen yang tidak nyaman atau provokatif sering kali menjadi alat yang efektif untuk memicu emosi audiens.
Sebuah lukisan yang menggambarkan penderitaan manusia secara vulgar, misalnya, mungkin saja terasa mengganggu. Namun itu juga bisa membuat audiens lebih memahami kedalaman masalah yang diangkat. Ini adalah bentuk komunikasi yang tidak bisa digantikan oleh narasi yang “aman” atau steril.
Sebagai cermin masyarakat, seni sering kali harus kasar, tidak nyaman, dan bahkan vulgar untuk menyampaikan pesan yang mendalam. Kevulgaran dalam seni sering kali bukanlah soal estetika yang murah atau pencarian sensasi belaka. Ia adalah alat yang sah untuk memprovokasi pemikiran, memicu emosi, dan memperluas diskusi.
Daripada membatasi seni, kita sebaiknya membuka ruang lebih luas untuk berdialog tentang karya-karya yang provokatif. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita membutuhkan seni yang tidak takut untuk berani, bahkan ketika itu berarti melampaui batas kenyamanan kita.
Esai ini pertama kali diterbitkan di Arina.id