Pasca AI Action Summit Paris, AI Dunia Terpecah Menjadi Dua Blok

AI Action Summit di Paris sudah berakhir, tetapi dampaknya akan terus terasa dalam perdebatan global mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Diselenggarakan pada 10-11 Februari 2025, acara ini mempertemukan para pemimpin dunia, perusahaan teknologi, dan akademisi untuk membahas masa depan AI dalam konteks regulasi, etika, serta potensi dan risikonya bagi masyarakat global. 

Prancis, sebagai tuan rumah, bersama Uni Eropa, menjadi motor utama dalam mendorong pertemuan ini dengan tujuan menciptakan kesepakatan bersama mengenai pengembangan AI yang aman, transparan, dan etis.

Salah satu hal yang mencuat dalam pertemuan besar ini adalah kegagalan mencapai kesepakatan global mengenai regulasi AI. Amerika Serikat dan Inggris menolak menandatangani deklarasi internasional yang didukung oleh negara-negara seperti Prancis, Jerman, China, dan India, yang menginginkan regulasi ketat dalam pengembangan AI. 

AS dan Inggris beralasan bahwa regulasi yang terlalu ketat bisa menghambat inovasi dan membatasi pertumbuhan industri teknologi. Sementara itu, negara-negara pendukung regulasi ketat menegaskan bahwa tanpa aturan yang jelas, AI bisa membawa dampak sosial yang tidak terkendali, termasuk penyebaran disinformasi, bias algoritmik, dan risiko keamanan nasional.

Ketidaksepakatan ini membuka jalan bagi kemungkinan terbentuknya dua blok regulasi AI di dunia. Satu blok akan terdiri dari negara-negara yang menerapkan regulasi ketat terhadap AI, memastikan bahwa setiap pengembangan teknologi ini diawasi dan dikontrol dengan standar etika yang ketat. Blok lainnya akan menganut pendekatan yang lebih longgar, memberi kebebasan lebih besar bagi perusahaan teknologi untuk berinovasi tanpa banyak intervensi pemerintah.

Sejarah menunjukkan bagaimana perbedaan kebijakan dan regulasi bisa menciptakan dunia yang terpecah. Seperti saat internet berkembang di jalur yang berbeda di Barat dan China, AI pun tampaknya mengikuti pola yang sama. 

Perusahaan-perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Microsoft mungkin akan berkembang dengan aturan yang lebih fleksibel di Amerika Serikat dan Inggris, sementara perusahaan seperti Baidu, Huawei, dan Alibaba harus mengikuti regulasi yang lebih ketat di China. Pada akhirnya, inovasi AI di dua blok ini bisa berkembang dalam arah yang sangat berbeda, tergantung pada aturan yang mengikatnya.

Ketidaksesuaian ini akan menimbulkan tantangan besar. AI yang berkembang di Amerika Serikat mungkin tidak bisa digunakan secara langsung di Uni Eropa tanpa melalui berbagai penyesuaian. AI yang lahir di China mungkin menghadapi hambatan untuk beroperasi di negara-negara yang menerapkan regulasi ketat. Dunia yang semakin terdigitalisasi mungkin justru semakin terfragmentasi dalam penggunaan teknologi AI.

Di tengah fragmentasi ini, dunia bisnis dan ekonomi pun harus menyesuaikan diri. Perusahaan yang ingin beroperasi di berbagai kawasan harus mengadaptasi produk dan layanan mereka sesuai dengan regulasi yang berlaku di masing-masing blok. Ini bisa berarti biaya tambahan, pengembangan yang lebih lambat, serta kesulitan dalam membangun solusi AI yang bisa digunakan secara global. 

Proteksionisme juga mungkin meningkat, dengan negara-negara membatasi masuknya AI dari blok lain demi menjaga kepentingan nasional mereka. Misalnya, Uni Eropa bisa melarang AI yang dianggap kurang transparan dalam penggunaannya terhadap data pribadi, sementara AS mungkin tetap membebaskan inovasi AI meskipun dengan risiko etika yang lebih tinggi.

Selain aspek teknis dan ekonomi, perbedaan regulasi ini juga menimbulkan dampak dalam ranah filsafat. Kalau AI berkembang dalam dua ekosistem yang berbeda, maka pertanyaan mendasar tentang bagaimana AI memahami kebenaran, etika, dan identitasnya akan semakin kompleks. 

Apakah kebenaran yang dihasilkan oleh AI di satu blok lebih sah dibandingkan AI dari blok lain? Apakah AI yang berkembang tanpa banyak batasan lebih baik dalam memahami manusia dibandingkan AI yang dikembangkan dengan standar etika yang ketat? Apakah AI harus lebih mengutamakan kebebasan atau kepatuhan terhadap aturan?

Dari perspektif etika, muncul pertanyaan tentang bagaimana kita menentukan batasan moral dalam pengembangan teknologi. Apakah kita mengizinkan AI berkembang secara bebas meskipun ada risiko penyalahgunaan? Ataukah kita lebih memilih pendekatan hati-hati, dengan konsekuensi inovasi yang lebih lambat? 

Epistemologi AI pun akan dipertanyakan. Kalau AI di satu kawasan berkembang dengan aturan berbeda, maka hasil analisis dan rekomendasi yang dihasilkan juga bisa sangat berbeda. Ini berarti dunia bisa memiliki dua standar kebenaran yang berbeda, tergantung dari mana AI itu berasal.

Implikasi dalam filsafat politik pun tidak kalah menarik. AI yang berkembang dalam regulasi ketat bisa menjadi alat negara untuk memastikan teknologi ini tidak digunakan untuk merugikan masyarakat. Namun, ada risiko bahwa negara-negara dengan pengawasan ketat terhadap AI justru menggunakan regulasi ini untuk mengontrol warganya. Sebaliknya, AI yang bebas regulasi bisa menjadi lebih dinamis, tetapi juga membuka peluang bagi monopoli perusahaan besar yang mungkin tidak selalu mempertimbangkan dampak sosial AI terhadap masyarakat luas.

Ketidaksepakatan di AI Action Summit di Paris bukan cuma tentang bagaimana AI akan dikembangkan, tetapi juga bagaimana dunia akan membentuk masa depan teknologi ini. Kalau dunia gagal menemukan jalan tengah dalam regulasi AI, kita bisa menghadapi masa depan di mana teknologi yang seharusnya bersifat global malah menjadi alat perpecahan. 

Dengan dua pendekatan yang semakin jauh berbeda, tantangan terbesar bagi dunia adalah mencari keseimbangan antara inovasi, regulasi, dan tanggung jawab sosial dalam menghadapi revolusi AI yang tak terhindarkan. Di tengah perbedaan yang semakin dalam ini, apakah kita benar-benar bisa berharap ada AI yang inklusif dan universal?

Kontak