Tata Kelola AI Tanpa Literasi Publik Adalah Jembatan Tanpa Jalan

Bukan cuma di Danantara dan urusan Ibu Kota Nusantara, Tony Blair juga tampaknya akan terlibat dalam pengembangan tata kelola artificial intelligence (AI) Indonesia, lewat kerjasama antara Tony Blair Institute dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Minggu lalu, mantan Perdana Menteri Inggris itu bertemu dengan Meutya Hafid, Menteri Komdigi. Dalam pertemuan itu, tata kelola AI adalah salah satu hal yang dibahas selain soal penerapan teknologi Embedded Subscriber Identity Module (eSIM), serta percepatan pembangunan talenta digital Indonesia.

Terkait tata kelola AI, seperti disampaikan Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria di kesempatan lain, pemerintah berfokus pada kebijakan dengan pendekatan policy (kebijakan), people (talenta), dan platform.

Pemerintah tampaknya ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak mau ketinggalan dalam perjalanan besar dunia menuju era AI. Ada optimisme bahwa Indonesia bukan sekadar menjadi penonton dalam revolusi teknologi global yang sedang berlangsung.

Publik boleh saja menaruh harapan dan bergembira atas optimisme ini. Namun ini akan menjadi kegembiraan yang prematur kalau satu hal penting diabaikan: literasi masyarakat tentang AI. Tanpa fondasi literasi yang kuat di tengah warga negara, semua upaya membangun tata kelola AI berisiko besar menjadi proyek elitis — menguntungkan sebagian kecil, sementara mayoritas tetap asing terhadap perubahan yang mengatur kehidupan mereka.

Tata kelola AI yang ideal memang harus dibangun. Tapi bukankah subjek dari tata kelola itu adalah warga negara? Oleh karena itu keterlibatan warga negara tidak bisa cuma dalam bentuk penerimaan pasif terhadap aturan. Warga negara harus punya pemahaman, harus punya kemampuan untuk menilai, mengkritisi, bahkan berpartisipasi dalam mengawasi bagaimana AI diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan.

Di sinilah pentingnya literasi publik tentang AI. Bukan literasi teknis tingkat tinggi. Juga bukan tentang bagaimana menulis algoritma atau membangun model machine learning. Literasi publik tentang AI mencakup beberapa pemahaman mendasar.

Pertama, pemahaman bahwa AI bekerja dengan belajar dari data, dan data itu bisa membawa bias tersembunyi yang berdampak pada keputusan akhir.

Kedua, kesadaran tentang hak-hak dasar dalam dunia digital: hak atas privasi, hak untuk tahu bagaimana keputusan diambil, hak untuk menolak diperlakukan semata-mata oleh algoritma.

Ketiga, kemampuan membaca tanda-tanda manipulasi berbasis AI, seperti penyebaran informasi yang disesuaikan secara hiper-personal untuk membentuk opini atau perilaku.

Dan keempat, kemampuan untuk tetap mengambil keputusan kritis di tengah banjir otomatisasi: menyadari bahwa apa yang disarankan AI bukan selalu yang terbaik atau netral, melainkan sesuatu yang perlu ditimbang secara sadar.

Literasi seperti ini bukan cuma melindungi individu, tapi juga memperkuat kedaulatan kolektif kita sebagai warga negara dalam menghadapi sistem teknologi yang makin kompleks.

Namun membangun literasi semacam ini memang bukan perkara mudah. Indonesia menghadapi tantangan besar di sini. Tingkat literasi digital dasar di negeri ini saja masih jauh dari merata. Di banyak wilayah, Internet baru sekadar sarana hiburan, belum menjadi alat pemberdayaan.

Kalau dalam situasi seperti ini kita tiba-tiba berhadapan dengan sistem AI yang makin kompleks tanpa membangun jembatan literasi, kita sedang memperlebar jurang ketidakadilan digital yang baru. Jurang bukan cuma dalam akses teknologi, tetapi juga dalam pemahaman atas cara kerja dunia baru ini.

Itulah sebabnya, membangun literasi AI di tengah masyarakat bukanlah pilihan tambahan yang boleh ditunda — melainkan keharusan yang harus dijalankan beriringan dengan setiap langkah perumusan tata kelola AI. Pemerintah perlu mengambil peran aktif, bukan cuma dalam membuat regulasi, tapi juga dalam menyebarluaskan pemahaman.

Sekolah, universitas, komunitas digital, media massa, semua harus dilibatkan. Bahasa yang dipakai pun harus sederhana, membumi, kontekstual. Literasi AI bukan untuk para insinyur saja, melainkan untuk setiap warga negara yang kehidupannya akan disentuh oleh keputusan algoritmik.

Kalau literasi ini diabaikan, kita mungkin akan melihat lahirnya aturan-aturan baru tentang AI yang terdengar canggih, tetapi kosong maknanya bagi mayoritas rakyat. Lebih buruk lagi, AI bisa menjadi alat kekuasaan baru yang meminggirkan suara-suara rakyat biasa; bukan karena rakyat menolak perubahan, tapi karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk memahami perubahan itu.

Saya percaya, semangat Indonesia membangun tata kelola AI layak diapresiasi. Tapi semangat itu baru benar-benar punya arti kalau kita memastikan bahwa masa depan AI Indonesia adalah masa depan yang inklusif, bukan eksklusif.

Kalau tidak, semua jembatan digital yang sedang kita bangun hari ini bisa berakhir menjadi jembatan tanpa jalan. Megah dari kejauhan, menghubungkan sesuatu yang tampak mulia, tapi tidak bisa diakses oleh siapa pun, selain oleh segelintir orang yang punya kuasa. 

Tata kelola tanpa kesetaraan pemahaman hanya akan melahirkan ketimpangan baru yang lebih halus, lebih sunyi, dan lebih sulit diperbaiki. Dan itu, sungguh, bukan masa depan yang layak kita perjuangkan.

Kontak