Kalau Semua Diambil Mesin, Siapa Lagi yang Mau Menulis?

Kita terbiasa mencari jawaban dengan mengetik kata kunci di Google, lalu memilih sendiri halaman mana yang ingin kita baca. Kadang kita masuk ke blog seseorang, forum diskusi, artikel panjang, atau situs berita. Kita membaca langsung dari sumbernya, memahami konteksnya, dan -kalau beruntung- kita merasa sedikit lebih cerdas ketimbang sebelumnya.

Tapi sejak munculnya model AI publik seperti ChatGPT di akhir 2022, ada sesuatu yang diam-diam bergeser. Orang tidak lagi mengetik di Google dan membaca langsung dari situs. Sekarang, mereka bertanya ke mesin seperti ChatGPT, Bing Copilot, atau Claude, dan langsung mendapat jawaban. Jawaban yang ringkas, rapi, dan langsung di depan mata. Tanpa perlu klik ke mana-mana.

Data menunjukkan tren itu bukan sekadar kesan. ChatGPT sekarang punya lebih dari 400 juta pengguna aktif mingguan. Sementara situs web seperti Stack Overflow mengalami penurunan aktivitas posting hingga 16% setelah ChatGPT dirilis.

Lalu sejak Google meluncurkan AI Overview pada Mei 2024, jumlah klik ke situs berita anjlok tajam: dari puncak 2,3 miliar kunjungan menjadi di bawah 1,7 miliar pada pertengahan 2025. Sebaliknya, trafik dari ChatGPT ke situs berita melonjak 25 kali lipat dalam periode yang sama -bukan karena orang tertarik membaca lebih lanjut, tapi karena ingin mengecek sumber yang disebut mesin. Cuma itu.

Sementara itu, trafik ke situs web sekarang lebih banyak berasal dari bot dibanding manusia. Pada 2023, bot menyumbang 49,6% dari seluruh trafik internet -lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, estimasi terbaru menyebutkan bahwa 80% pengunjung web sekarang adalah bot, bukan manusia. Dan dari semua bot itu, bot milik OpenAI -yang dikenal sebagai GPTBot- telah melampaui Googlebot dalam jumlah halaman yang di-scrape.

Artinya, halaman-halaman yang kita tulis tidak lagi dibaca oleh orang. Mereka diambil oleh mesin untuk dijadikan bahan pelatihan. Mesin yang tidak menyapa. Tidak berdialog. Tidak menyebut nama kita. Sementara para kreator tetap menulis -tanpa tahu bahwa hasil kerja mereka sedang diambil untuk melatih model bernilai miliaran dolar.

Ini bukan cuma bentuk ekstraksi. Ini adalah bentuk penghapusan.

Pengetahuan yang awalnya datang dari orang-orang nyata, dalam situasi nyata, dengan bahasa dan pengalaman yang khas, diproses ulang menjadi kalimat generik. Nada-nada personal menguap. Referensi tidak terlacak. Jejak pemikiran hilang. Yang tersisa adalah jawaban cepat, aman, dan bisa jadi seragam.

Kalau semua ini dibiarkan, saya kira, kita akan sampai di satu titik ketika manusia berhenti berbagi. Bukan karena tidak punya lagi yang bisa dibagikan, tapi karena merasa sia-sia. Karena tahu bahwa begitu tulisan itu muncul di web, ia akan diserap mesin, diperas isinya, dan dikembalikan ke dunia tanpa nama penulisnya.

Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat ekosistem pengetahuan terbuka menjadi kering. Mesin akan terus memproduksi teks, tapi cuma dari potongan-potongan lama. Tidak ada lagi suara baru. Tidak ada lagi percakapan yang hidup.

Lalu siapa yang akan mengisi internet?

Ironisnya, kalau tren ini berlanjut, model AI akan kehabisan bahan baku. Karena ia belajar dari manusia, dari tulisan manusia, dari cara manusia menjelaskan dan merenung. Kalau manusia berhenti berbagi, AI cuma akan mengulang apa yang sudah ada -dan pelan-pelan kehilangan kedalaman.

Jelas, ini bukan soal teknologi vs manusia. Ini soal menjaga ekosistem yang sehat bagi pengetahuan: ruang tempat orang masih percaya bahwa menulis itu penting, bahwa berbagi itu berarti, bahwa karya kita tidak cuma dipakai, tapi juga dihargai. Kita sedang menginginkan dunia digital yang adil -tempat di mana kita tetap ingin berpikir, menulis, dan menemukan satu sama lain.

Kalau semua sudah dijawab mesin, lalu siapa yang masih punya alasan untuk berbagi?

Kontak