Saya punya kebiasaan 'buruk': kalau saya punya corat-coret baru di situs web ini, saya mengabari teman-teman di Friendster, di Yahoo! Group, dan di Yahoo! Messenger. Sehabis menulis "Lagu Alam Memang Teu Beja-beja", saya juga mengabari teman-teman di grup LeoKristi.
Ramdan Malik, salah satu anggota grup itu, merespon e-mail saya dengan menyertakan syair lagu "Seribu Mil Lebih Sedepa". Saya membalasnya dengan ucapan terimakasih. Dan di email yang sama, saya menceritakan kekecewan saya menonton Iwan Abdulrachman manggung di Bentara Budaya Jakarta yang, menurut saya, terlalu banyak omong-omong.
Henry C Widjaja, yang juga anggota grup LeoKristi, menanggapi e-mail kekecewaan saya itu. Berbeda dengan saya, Henry justru menikmati omong-omong dalam acara itu -yang disebutnya sebagai "dakwah tanpa ayat".
Berikut ini tanggapan saya kepada Henry:
Ya, begitulah, bung. Cara orang mengapresiasi sesuatu itu berbeda-beda. Ketimbang omong-omongnya yang berkepanjangan di bbj malam itu, saya lebih menikmati lagu si abah lewat CD sesampai di rumah.
Keteduhan, kesahajaan, sulutan inspirasi, dan -kalau ada- kearifan lebih bisa saya dapatkan dari cara si abah melantunkan lagu dan bahasa ujarannya yang lugu.
"Apalagi sore ini, sore ini sore Sabtu
Sore biasa kita berdua
Membelai mentari senja
di ujung jalan Bandung Utara
Mentarinya yang ini juga, sayang"
Saya tidak tahu apakah syair macam itu pada jamannya tergolong puisi yang canggih. Di lidah saya hari ini, syair macam itu (plus cara abah iwan melagukannya) terasa memberi gambar yang bersahaja, lugu, dan bahkan naif. Saya suka. Saya sengaja merawat nyanyian dan syair macam itu dalam ingatan saya. Kenapa? Mmmm, saya kira, ini salah satu cara yang bagus untuk menjaga kewarasan kita di tengah kencenderungan orang dalam berbahasa belakangan ini.
Kita semua tahulah, banyak diantara kita cenderung mempercanggih cara bertutur dan berbahasa. Ini adalah kecenderungan yang membuat kita sangat sulit untuk mendapatkan gambar dan manakar itikad sesungguhnya dari sebuah pernyataan maupun percakapan; yang membuat kita lebih doyan berprasangka dan rumangsa menjadi yang paling benar.
Begitulah, bung. Saya memang lebih menikmati nyanyian si abah ketimbang "dakwah (lisan) tanpa ayat"-nya yang berpanjang-panjang malam itu. Mohon dimaklumi saja, barangkali saya tidak terlalu tahan menerima omong-omong tambahan malam itu, setelah capek berbulan-bulan (eh betahun-tahun ya?) mendapati TV, radio, koran, majalah, mimbar ini, mimbar itu, forum ini, forum itu yang lebih banyak mengumbar omong-omong doang. Berisik!
Ampun! Sekarang sayalah yang kebanyakan omong. Jangan-jangan ini juga tanda-tanda ketuaan yang menyebalkan!
Salam
YS