Pengadilan, Avatar, dan Hak untuk Bicara

Seorang hakim terlihat gusar, suaranya meninggi, dan wajahnya tak bisa menyembunyikan amarah. Itu terjadi di ruang sidang pengadilan federal di New York pada April 2024

Yang memicu kemarahan hakim itu bukan kasus pidana besar atau pelanggaran serius terhadap hukum, melainkan sebuah video. Jerome Dewald, yang mewakili dirinya sendiri dalam sebuah gugatan perdata di ruang pengadilan itu, memang telah meminta izin untuk memutar video sebagai bagian dari argumennya. Hakim mengizinkan.

Tapi yang muncul di layar bukanlah Dewald yang berbicara langsung, melainkan sosok digital, lengkap dengan suara sintetis dan ekspresi wajah yang ditiru dari model aslinya. Ia tidak memberitahu pengadilan bahwa video itu bukan dirinya yang bicara, melainkan mesin.

Bagi sang hakim, ini adalah pelanggaran serius terhadap kejujuran di hadapan hukum. Ia menyebut tindakan Dewald itu mencemari integritas proses pengadilan, dan menyatakan bahwa pengadilan bukan tempat untuk eksperimen teknologi seperti ini.

Dewald diminta menghapus video tersebut. Kejadian ini langsung menyebar ke berbagai media sebagai contoh aneh, bahkan menggelikan, tentang bagaimana orang kini mencoba menyiasati hukum dengan AI.

Di balik kegaduhan itu, ada pertanyaan yang jauh lebih penting dari sekadar apakah Dewald pantas dimarahi atau tidak. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa sistem peradilan yang kita kenal kini mulai berhadapan dengan tantangan baru dari dunia digital. Beberapa persoalan mendesak mulai menyeruak.

Apa yang dimaksud dengan “kehadiran” dalam ruang pengadilan? Apakah seseorang harus benar-benar duduk dan bicara di ruang sidang agar argumennya sah? Apakah representasi digital seperti avatar atau suara sintetis bisa menggantikan ekspresi wajah, nada bicara, atau getaran emosi yang biasa dibaca hakim dan jaksa sebagai bagian dari kredibilitas?

Lebih jauh lagi, bagaimana pengadilan menjaga validitas kesaksian dan bukti di era di mana representasi bisa diedit, disintesis, dimanipulasi? Apa yang terjadi ketika fondasi sistem hukum -truth, trust, dan testimony- bertemu dengan realitas digital di mana mata bisa dibohongi, dan suara bisa dipalsukan?

Mungkin masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan radikal yang muncul dari peristiwa tersebut. Namun, mari kita kembali ke kasus Dewald.

Banyak laporan media melihat aksinya sebagai bentuk kelicikan atau sensasi, tapi yang sering luput dibicarakan adalah mengapa ia melakukan itu. Jerome Dewald bukan seorang pengacara. Ia tidak punya tim hukum, dan tak punya sumber daya untuk menyewa satu pun.

Dalam penjelasannya, ia mengaku merasa tidak sanggup berbicara langsung di depan hakim. Ia gugup. Ia tidak percaya diri. Maka ia mencari cara agar tetap bisa menyampaikan argumen dengan tenang, sistematis, dan tidak terganggu oleh emosinya sendiri. Pilihannya jatuh pada teknologi.

Dengan kata lain, ia tidak mencoba bersembunyi. Ia justru ingin hadir. Tapi dengan cara yang ia bisa, dalam kondisi yang ia mampu. Teknologi menjadi satu-satunya alat yang memungkinkannya untuk itu.

Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika Serikat banyak orang datang ke pengadilan tanpa pengacara, tanpa pelatihan retorika, tanpa pengalaman menghadapi sistem hukum yang rumit dan menekan. Ada yang punya hambatan psikologis. Ada yang merasa terlalu kecil di hadapan sistem yang besar. Apakah mereka tidak berhak untuk menyampaikan argumen dengan cara yang membantu mereka bisa bicara?

Teknologi seperti AI bisa menjadi jembatan inklusi; yaitu, alat bantu agar orang tetap bisa bersuara ketika tubuh, kondisi mental, atau latar sosial-ekonomi membuat mereka tidak mampu melakukannya secara konvensional. Namun jembatan ini juga bisa berubah menjadi jebakan, terutama ketika sistem hukum tidak siap, tidak terbuka, dan belum punya panduan yang jelas tentang bagaimana seharusnya teknologi diintegrasikan ke dalam proses hukum.

Kasus Dewald menunjukkan dengan terang: ketika niat baik untuk bersuara bertemu sistem yang belum siap menerima cara baru dalam berbicara, yang terjadi bukanlah keadilan, melainkan penolakan.

Ini bukan berarti semua representasi digital harus diterima begitu saja. Kekhawatiran terhadap manipulasi, pemalsuan bukti, atau deepfake yang bisa menyesatkan hakim dan juri adalah hal yang nyata. Tapi menutup pintu sepenuhnya pada ekspresi digital—terutama kalau itu muncul dari kebutuhan, bukan niat jahat—adalah sikap yang bisa melanggengkan ketimpangan akses terhadap keadilan.

Peristiwa yang dialami Deswald memang tidak terjadi di negeri kita. Namun tantangan terkait sistem hukum di era AI seperti itu akan juga kita hadapi.

Dalam dunia yang semakin kompleks secara teknologi, tantangan sistem hukum adalah menemukan titik seimbang antara kehati-hatian dan keberanian untuk beradaptasi. Bukan agar semua hal digital bisa diterima, tapi agar sistem hukum tetap relevan, manusiawi, dan inklusif. 

Keadilan bukan cuma soal prosedur. Keadilan adalah soal mendengar semua suara, terutama suara mereka yang paling sulit terdengar, tapi paling membutuhkan keadilan.

Kontak