OpenAI, perusahaan yang mengembangkan ChatGPT, dikabarkan sedang mengembangkan social network platform-nya sendiri. Dengan aplikasi sosial seperti itu, OpenAI akan memperoleh data real-time unik sendiri untuk membantu melatih model AI mereka.
Di saat yang hampir bersamaan, Perplexity, salah satu pemain baru di dunia artificial intelligence, meluncurkan browser yang akan mencatat semua aktivitas penggunanya. Tujuannya terang-terangan: menjual iklan yang disesuaikan secara hiper-personal.
Kedua berita yang datang dari dua entitas yang sering dipuja karena inovasinya ini sebetulnya cuma mempertegas apa yang selama ini sudah terjadi di balik layar: manusia adalah sumber daya data yang terus menerus ditambang.
Bukan cuma ditambang, tapi diolah, dikemas, dan dijual kembali dalam bentuk informasi dan pengetahuan yang tampak netral. Lalu didistribusikan lewat sistem yang sangat canggih agar bisa kembali kepada kita dalam rupa rekomendasi produk, berita, hiburan, bahkan keputusan yang kita anggap datang dari kehendak bebas.
Padahal, mungkin bukan kehendak bebas kita yang bekerja, melainkan algoritma, yang tahu lebih dulu keinginan kita -bahkan sebelum kita sempat menyadarinya.
Kita menyebut diri sebagai pengguna, tapi dalam banyak hal sebetulnya kita justru adalah produk itu sendiri. Tubuh digital kita -seperti jejak pencarian, kebiasaan scroll, reaksi emosi di media sosial- sudah menjadi bahan bakar utama dari sistem ekonomi yang tak pernah kenyang.
Dulu, yang dijual adalah komoditas. Sekarang: kemungkinan. Dan kemungkinan itu disusun dari serpihan-serpihan perilaku kita -dimonitor, dikalkulasi, disesuaikan.
Meskipun dibungkus dalam bahasa teknologi tinggi dan pengalaman pengguna yang nyaman, situasi ini sebetulnya menyimpan logika yang tidak asing: logika kolonialisme.
Dulu, tanah dan manusia dijajah untuk diperas hasilnya. Sekarang, yang dijajah adalah ruang hidup digital kita. Ia dijelajahi, dipetakan, dan diambil hasilnya, tanpa kita pernah merasa sedang kehilangan apa pun. Sebab yang dirampas bukan fisik, tapi kesadaran.
Ini seperti suatu jebakan yang halus. Ketika data diproses dan dimanfaatkan untuk menyempurnakan sistem rekomendasi, pengalaman yang kita dapat tampak makin personal.
Tapi justru di sanalah titik rawannya. Sebab yang disebut “personal” itu adalah hasil dari generalisasi yang dibangun di atas pengetahuan tentang banyak orang lain seperti kita. Dengan kata lain, identitas kita bukan lagi milik kita, tapi hasil kalkulasi orang lain tentang kita.
Kita merasa memilih. Padahal bisa jadi, pilihan itu datang karena sudah disodorkan terus menerus, dengan cara yang tidak terasa seperti paksaan.
Kita merasa bebas. Padahal kebebasan itu sudah dirancang agar tetap berada dalam batas-batas yang menguntungkan platform.
Dalam situasi seperti ini, konsumsi tidak lagi sekadar aktivitas ekonomi. Ia sudah menjelma menjadi bentuk kepatuhan.
Kita patuh bukan karena ditekan, tapi karena merasa nyaman. Kita menuruti bukan karena takut, tapi karena merasa itu keputusan kita sendiri. Padahal keputusan itu sudah dipandu, diarahkan, dan dikondisikan lewat sistem yang memahami kita bukan sebagai manusia dengan kehendak bebas, melainkan sebagai pola-pola perilaku yang bisa diprediksi.
Dan dalam sistem seperti ini, yang paling diuntungkan adalah mereka yang punya akses terhadap infrastruktur data dan kapabilitas untuk mengolahnya. Mereka bisa membangun model prediksi, membentuk opini, bahkan mengarahkan pilihan politik.
Sementara kita, yang menjadi sumber utama dari semua data itu, nyaris tidak punya kuasa untuk menentukan bagaimana data kita dipakai.
Lalu, apakah ini semua cuma soal teknologi? Tidak. Ini soal relasi kuasa. Soal siapa yang punya kendali, dan siapa yang menjadi bahan bakar. Soal bagaimana sistem digital dibangun bukan untuk membebaskan, tapi untuk memperhalus bentuk-bentuk baru dari dominasi.
Sekarang kita berada pada titik yang aneh dalam sejarah manusia. Di satu sisi, kita belum pernah punya akses informasi seluas ini. Tapi di sisi lain, kita juga belum pernah berada dalam sistem yang begitu lihai membingkai realitas cuma lewat apa yang ingin kita lihat. Kita diberi kebebasan untuk bersuara, tapi dalam ruang yang pelan-pelan dikurasi berdasarkan kalkulasi untung-rugi.
Pertanyaannya bukan lagi, “Apa yang bisa kita akses?” tetapi “Siapa yang mengatur apa yang kita akses?” Dan yang lebih penting, “Untuk kepentingan siapa semua ini dikembangkan?”
Mungkin sudah saatnya kita berhenti merasa sebagai pengguna, dan mulai sadar bahwa kita sedang digunakan. Bahwa tubuh digital kita bukan lagi milik pribadi, tapi bagian dari komoditas global yang nilainya ditentukan oleh seberapa bisa ia dijinakkan dan diarahkan.
Kita tidak sedang hidup dalam utopia teknologi. Kita sedang hidup di tengah ladang tambang, dan manusialah yang jadi deposit data paling berharga.
Pertanyaannya: sampai kapan kita rela menjadi tambang yang terus digali tanpa pernah ikut menentukan arah hasilnya?