Artificial Intelligence, Kolonialisme Digital, dan Rasisme Linguistik

AI (artificial intelligence) sedang mengubah cara kita berkomunikasi, termasuk aksen bicara kita. Di Teleperformance, sebuah perusahaan call center terbesar di dunia, AI kini dipakai untuk menetralkan aksen agen customer service India, mengubah suara mereka agar terdengar lebih "netral" bagi pelanggan yang sebagian besar berasal dari Global North, kelompok negara-negara maju.

Teknologi ini dikembangkan oleh Sanas, sebuah startup berbasis di Silicon Valley yang secara khusus mengembangkan perangkat lunak untuk mengubah aksen secara real time. Selain menargetkan aksen India, Sanas juga merancang teknologi serupa untuk aksen Filipina dan Amerika Latin.

Itu menunjukkan bahwa pengembangan teknologi ini bukan cuma soal satu negara atau bangsa, melainkan bagian dari pola yang lebih luas: aksen dari negara-negara bekas jajahan dianggap sebagai hambatan komunikasi yang perlu direduksi -atau bahkan dihapus. Ini bukan sekadar inovasi dalam teknologi suara; ini adalah bentuk lain dari rasisme linguistik yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Aksen bukan cuma cara berbicara, tetapi juga bagian dari identitas seseorang. Ketika seseorang berbicara dengan aksen tertentu, ia membawa serta latar belakang budaya, sejarah, dan komunitas yang membentuknya. Namun, dalam dunia yang didominasi oleh standar Anglo-Amerika, aksen dari Global South -negara-negara berkembang- sering kali dianggap sebagai penghalang, bukan sebagai keberagaman yang perlu dihargai.

Rasisme linguistik bekerja dengan cara yang halus tetapi meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di dunia kerja. Seorang pekerja call center di India harus menyesuaikan cara berbicaranya agar lebih bisa diterima oleh pelanggan dari Amerika atau Inggris. Namun hal yang sama tidak berlaku bagi pekerja dari Barat yang berbicara dengan aksen mereka sendiri kepada pelanggan di Asia atau Afrika. Ada standar ganda yang menunjukkan siapa yang memiliki kuasa menentukan norma komunikasi dan siapa yang harus menyesuaikan diri.

AI yang dipakai oleh Teleperformance bukan sekadar alat yang netral. Teknologi ini dikembangkan berdasarkan preferensi pelanggan yang telah tertanam dalam sistem ekonomi global yang tidak seimbang. Standar linguistik yang dianggap lebih jelas dan profesional hampir selalu mengikuti pola yang berasal dari negara-negara dengan pengaruh ekonomi dan budaya dominan. Ini mencerminkan bentuk baru dari kolonialisme digital, di mana bukan cuma sumber daya fisik yang dieksploitasi, tetapi juga bahasa dan cara berbicara.

Perangkat lunak AI Sanas, yang dipakai untuk mengubah aksen agen call center secara real-time, bekerja dengan asumsi bahwa aksen dari India, Filipina, dan Amerika Latin harus disesuaikan agar lebih mudah dipahami, bukan pelanggan yang perlu lebih terbuka terhadap keberagaman suara. Ini bukan solusi untuk meningkatkan komunikasi, tetapi upaya lain untuk menyamakan dunia dengan standar yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi tertentu.

Di balik perubahan suara ini, ada proses dehumanisasi yang lebih besar. Pekerja di call center tidak cuma diminta untuk mengikuti skrip dan protokol ketat, tetapi juga harus kehilangan salah satu aspek paling mendasar dari diri mereka: cara mereka berbicara. Ini menciptakan tekanan psikologis yang nyata, karena mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan identitas linguistik yang bukan milik mereka.

Dalam jangka panjang, praktik semacam ini bisa memperkuat internalisasi rasa rendah diri: individu mulai percaya bahwa aksen mereka memang tidak cukup baik dan harus diubah agar bisa diterima. Ini adalah bentuk penindasan yang halus tetapi efektif, karena pekerja tidak cuma tunduk pada tuntutan perusahaan tetapi juga pada standar budaya yang tidak mereka tentukan sendiri.

Kalau AI benar-benar ingin meningkatkan komunikasi, maka teknologi ini seharusnya dipakai untuk membantu orang memahami berbagai aksen, bukan untuk menghapusnya. Ada cara lain untuk memakai AI dalam dunia customer service yang tidak menghilangkan keunikan linguistik, misalnya dengan meningkatkan sistem transkripsi otomatis yang bisa membantu pelanggan memahami pembicaraan tanpa harus mengubah suara agen.

Alih-alih menyesuaikan pekerja dengan pelanggan, teknologi bisa diarahkan untuk membantu pelanggan menerima keberagaman bahasa. Pendekatan ini tidak cuma lebih etis tetapi juga lebih sesuai dengan kenyataan dunia yang semakin terhubung.

Apa yang terjadi di Teleperformance bukan cuma soal efisiensi layanan, tetapi juga soal kekuasaan dan siapa yang berhak menentukan bagaimana komunikasi seharusnya berlangsung. Kalau tren ini terus berlanjut, kita akan melihat dunia di mana keberagaman linguistik semakin terkikis, dan suara manusia semakin diseragamkan oleh logika pasar dan algoritma. 

Pertanyaannya, apakah kita ingin hidup di dunia di mana semua orang terdengar sama, atau di dunia di mana kita belajar untuk memahami perbedaan?


Esai ini pertama kali terbit di Arina.id

Kontak