Mewaspadai Pemerasan Seksual Digital di Era AI

Elijah Heacock tidak tinggal di Indonesia. Ia seorang remaja dari Wisconsin, Amerika Serikat, yang meninggal karena bunuh diri pada Februari 2025. Ia menjadi korban pemerasan, setelah seseorang mengirimkan gambar telanjang yang tampak seperti dirinya, hasil manipulasi artificial intelligence (AI). Dan itu cukup untuk membuatnya runtuh.

Apa yang menimpa Elijah dikenal sebagai sextortion,  singkatan dari sexual extortion atau pemerasan seksual. Dalam bentuk paling dasarnya, ini adalah kejahatan yang menjadikan representasi tubuh sebagai alat ancaman. 

Korban dipaksa tunduk, dibungkam, atau dibujuk dengan tekanan bahwa gambar atau video akan disebarkan kalau permintaan tidak dipenuhi. Terkadang diminta uang. Terkadang diminta gambar lebih banyak. Terkadang diminta sesuatu yang tak bisa kita bayangkan perihnya.

Di Amerika Serikat, Data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), lembaga nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat yang bekerja melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual, menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir lebih dari 500.000 laporan sextortion diterima. Dari jumlah itu, lebih dari 100.000 kasus melibatkan gambar hasil rekayasa AI. Dunia berubah. Modus kejahatan ikut berubah.

Di Indonesia, kita belum membaca berita tentang anak yang mengakhiri hidupnya karena sextortion. Tapi bukan berarti ancamannya tidak ada. Media-media kita berulang kali memberitakan sextortion yang menimpa para perempuan -baik dewasa maupun anak-anak. Sebagian besar kasus masih melibatkan gambar yang dikirim langsung oleh korban.

Belakangan, April lalu, ada berita tentang pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi yang tubuhnya dimanipulasi dengan AI. Kalau kita tidak mengantisipasinya, pelecehan semacam itu berjarak sangat pendek menuju sextortion.

Dari sisi hukum, kita sebenarnya tidak terlalu tertinggal. Pelaku sextortion bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana yang mengatur pemerasan, pengancaman, penyebaran konten asusila, maupun kekerasan seksual berbasis elektronik. Ada perangkat hukum yang bisa dipakai. Tapi itu saja tentu tidak cukup.

Hukum bekerja setelah semuanya terjadi. Sementara sextortion, apalagi yang melibatkan AI, bekerja dalam kecepatan yang menakutkan. Dalam hitungan jam, gambar bisa menyebar, lalu ketakutan bisa membuat seseorang memilih untuk menghilang.

Selama bertahun-tahun kita memberi peringatan: jangan bugil di internet. Jangan melakukan video call yang aneh-aneh. Jangan kirim gambar yang bisa disalahgunakan. Meskipun masih tetap relevan, tapi hari ini peringatan semacam itu sudah terasa kedaluwarsa. AI mengubah segalanya.

Sekarang hal ini bukan lagi soal kesalahan yang dilakukan korban. Bahkan mereka yang tidak pernah bugil, tidak pernah bermain-main dengan kamera, tetap bisa menjadi korban. Cukup satu atau dua foto wajah dari akun media sosial, lalu teknologi bisa mengerjakan sisanya. 

Dengan generative AI, sesuatu yang tidak pernah terjadi bisa dimunculkan dalam bentuk yang tampak nyata. Kita sedang memasuki dunia di mana “bukti” bisa lebih meyakinkan daripada kenyataan.

Kita tidak bisa lagi mengandalkan rasa takut sebagai alat perlindungan. Kita butuh sesuatu yang lebih kuat dari itu: pemahaman. Pemahaman tentang bagaimana AI bekerja. Tentang bagaimana wajah kita bisa dicuri, tubuh kita dipalsukan, dan martabat kita dijadikan komoditas kejahatan. Kita perlu memperluas cakupan literasi digital kita.

Dan ketika sesuatu terjadi, kita harus tahu ke mana mencari pertolongan. Kita perlu jalur pelaporan yang jelas. Layanan darurat yang sigap dan manusiawi. Lembaga yang tidak menyalahkan korban. Yang tidak bertanya “kenapa kamu bisa sampai begitu?”, melainkan berkata, “kami akan bantu kamu keluar dari ini.” Kita perlu sistem yang bekerja dalam diam tapi tegas menangani laporan, menghapus gambar, dan melindungi yang terancam.

Tragedi Elijah tidak terjadi di sini. Tapi bukan berarti kita aman. Sebelum terlanjur ada korban yang sangat putus asa, kita masih punya waktu untuk bertindak.

Teknologi bisa memalsukan apa pun, kecuali empati. Dan mungkin itu yang paling kita butuhkan sekarang: ruang-ruang yang sigap, hangat, dan tahu bahwa melindungi tidak cukup dengan menunggu hukum bekerja.

Kontak