Ketika ChatGPT Sudah Paham Hal-hal Lucu

Ilustrasi: Artificial intelligence akan menjadi mitra

Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, dan Indro Warkop bisa tidak lagi dibutuhkan menjadi juri kompetisi stand up comedy. Tepatnya, kita bisa tidak lagi membutuhkan manusia untuk menjadi juri kompetisi lawakan tunggal.

Penjurian kompetisi lawakan tunggal itu bisa diserahkan ke artificial intelligence saja. Kita bisa membiarkan artificial intelligence mengambil keputusan siapa yang paling lucu di antara peserta kompetisi itu.

Apakah artificial intelligence akan bisa tahu mana hal-hal yang lucu dan tidak? Bukan. Bukan “akan”, melainkan “sudah”. Artificial intelligence sudah berani menilai apakah sebuah cerita itu lucu atau tidak.

Kemarin saya mulai membenahi yayan.com , menata konten yang ada di dalamnya, melengkapi metadata banyak konten di webiste itu, menyesuaikan ukuran file gambar ilustrasi agar lebih ringan untuk ditampilkan, dan sebagainya. Sampai hari ini urusan bebenah itu masih berjalan.

Agar bisa diselesaikan lebih cepat, saya memakai ChatGPT untuk mendapatkan rekomendasi isi metadata yang tepat untuk masing-masing esai di yayan.com. Saya memberi dua perintah utama ke artificial intelligence yang dikembangkan OpenAI itu.

Satu, pahami esai tersebut. Dua, beri saya usulan konten metadata untuk esai tersebut.

Tibalah ChatGPT saya perintahkan untuk memahami esai berjudul “Yayan”. Esai itu menceritakan nama Yayan yang sering kali dikira milik perempuan sehingga satu dua kali pengemudi ojek online berteriak “Bu Yayan! Bu Yayan” untuk menemukan saya.

Apakah ChatGPT memahami esai tersebut?

ChatGPT menulis ulang esai itu dengan gaya yang lain, untuk meyakinkan bahwa ia memahami esai tersebut. Itu tidak terasa ajaib buat saya.

Namun perhatikan paragraf terakhir yang ditulis oleh ChatGPT tentang esai itu. Begini bunyinya:

“Artikel ini menggambarkan situasi yang lucu di mana ada kesalahpahaman mengenai nama dan jenis kelamin penulis, serta interaksi singkat antara penulis dan pengemudi ojek online.”

Lihat. Artificial intelligence itu telah menilai esai tersebut “menggambarkan situasi yang lucu”. Itu menandakan mesin itu memahami dan menemukan kelucuan di sebuah esai!

Kita tahu, cara kita menemukan kelucuan itu sangat jauh berbeda dengan cara kita menemukan kesalahan tulis ejaan, atau dengan cara kita menemukan informasi di Internet.

Memahami, menemukan, dan menikmati kelucuan adalah pengalaman manusia yang sangat kompleks. Lucu itu mengandung aspek obyektif dan juga aspek subyektif.

Lucu itu obyektif terkait dengan pola-pola konseptual. Sejumlah filsuf telah mencoba merumuskan pola-pola untuk menjawab pertanyaan: apakah lucu itu? Mereka yang mempelajari filsafat humor tentu tahu ada beberapa teori yang mencoba merumuskan hakikat lucu.

Ada teori superioritas, yang memandang bahwa kelucuan itu dihasilkan dari perasaan superior terhadap orang lain atau terhadap diri sendiri di versi yang lain. Ada teori relief, yang memandang bahwa kelucuan itu muncul jika terjadi proses pelepasan atau pelegaan dari situasi yang membuat energi berlebihan. Ada juga teori permainan, yang memandang bahwa kelucuan itu perkembangan dari permainan pura-pura seolah-oleh menjadi sesuatu.

Selain itu, ada teori ketidakselarasan (the incongruity theory), yang menganggap kelucuan itu adalah munculnya ketidakselarasan antara harapan yang sudah dibangun oleh mental audiens dengan apa yang mereka dapat. “Tertawa adalah affection yang timbul dari transformasi tiba-tiba dari harapan yang tegang menjadi tidak ada apa-apa,” tulis Kant.

Namun teori-teori itu dianggap tidak memadai untuk merumuskan apakah lucu itu. Lucu tidak hanya mengandung aspek obyektif, mengandalkan pengalaman sosial, dan melibatkan elemen kognitif saja.

Melainkan, lucu juga mengandung aspek subyektif dan melibatkan emosi. Lucu sering kali terkait dengan konteks sosial budaya, preferensi individual, dan -ini penting- ditandai dengan tanggapan emosional: tawa. Dan sejauh ini, tawa dipandang sebagai ekspresi emosi yang hanya dimiliki oleh manusia.

Katakanlah pengembangan artificial intelligence sekarang memang belum mampu menghasilkan ekspresi emosi yang selama ini hanya dimiliki oleh manusia. Namun kemampuan untuk memahami dan menemukan kelucuan dalam suatu naskah cerita, seperti yang ditunjukkan ChatGPT itu, menandakan bahwa generative artificial intelligence sudah melampaui kedudukan sebagai alat produksi dan perkakas kreasi.

Kemampuan semacam itu bahkan bisa mendorong spesies manusia untuk membangun konstruksi mental yang menempatkan generative artificial intelligence sebagai partner. Artificial intelligence bukan lagi semata alat yang dipakai oleh seseorang untuk keperluan tertentu. Juga artificial intelligence bukan piaraan yang melulu mematuhi perintah atau mendengarkan curhat seseorang. Kita, sebagai individu-individu, bisa terdorong untuk menjadikan artificial intelligence sebagai partner dalam riset, memberikan rekomendasi, berdebat, dan dalam proses penciptaan-penciptaan.

Itu artinya kita akan menjalani hidup yang tidak sama lagi. Konstruksi mental yang semula berlangsung individual itu akan mendorong banyak perubahan dalam konstruksi sosial, politik, dan budaya kita.

Jika itu akan berlangsung tidak lama lagi, menurutmu, apakah itu akan lucu seperti komedi ataukah meremukkan seperti tragedi?

Kontak