Sudah sejak lama kita menganggap rasa ingin tahu (curiosity) sebagai bagian dari kemanusiaan. Ia bukan sekadar keinginan untuk tahu, tapi dorongan yang lahir dari ketidaktahuan yang disadari. Ketika ada hal yang belum dipahami, muncul dorongan untuk menggali, menelaah, dan mempertanyakan. Bukan karena ada manfaat langsung, tetapi karena ketidaktahuan itu sendiri menimbulkan ketegangan yang perlu dijawab.
Sekarang muncul pertanyaan baru: apakah rasa ingin tahu masih penting ketika artificial intelligence (AI) dibekali kemampuan untuk “penasaran” juga?
Ya, ada kemampuan yang disebut curiosity AI. Ini adalah kemampuan yang memungkinkan sistem belajar mengenali kekurangannya sendiri dan secara aktif mencari informasi baru. Mesin tidak lagi menunggu perintah, tetapi bisa menjelajahi ketidaktahuannya dengan logika yang dibangun manusia.
Kemampuan AI ini terkesan mampu mengisi celah pengetahuan bukan lagi keistimewaan manusia. Tapi ada perbedaan mendasar yang perlu dicermati. AI menjelajah karena didesain untuk itu. Dorongannya bersifat instrumental -untuk efisiensi, untuk kinerja, untuk kecepatan. Tidak ada kegelisahan batin. Tidak ada keinginan untuk mengerti demi pemahaman yang lebih dalam. Tidak ada pertaruhan makna di balik pencarian itu.
Justru di sinilah muncul kekhawatiran: ketika mesin bisa menunjukkan perilaku yang menyerupai rasa ingin tahu, manusia perlahan mulai menyerahkan proses bertanya. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak merasa perlu. Jawaban bisa dicari dalam hitungan detik. Proses bertanya menjadi tidak menarik. Kebutuhan untuk tahu digantikan oleh kebutuhan untuk cepat tahu.
Padahal curiosity bukan cuma alat untuk mengumpulkan informasi. Ia adalah cara untuk memahami dunia, orang lain, dan diri sendiri. Ia tidak cuma mengisi kepala, tapi juga membentuk sikap.
Ketika bertanya menjadi kebiasaan, kemampuan untuk menimbang, menunda kesimpulan, dan membuka kemungkinan lain ikut tumbuh. Kehilangan kebiasaan itu berarti kehilangan salah satu fondasi berpikir yang paling mendasar.
Rasa ingin tahu yang manusiawi bukanlah fungsi teknis. Ia lahir dari keterbatasan, ketidaksempurnaan, dan dorongan untuk mencari makna. Bukan sekadar tahu apa yang belum diketahui, tapi ingin tahu mengapa itu penting untuk diketahui. Tidak semua orang sadar bahwa ini berbeda. Ketika AI mulai terlihat mampu “bertanya”, kesadaran akan perbedaan itu semakin kabur.
Dalam konteks curiosity AI, pencarian informasi adalah bagian dari sistem pembelajaran. AI akan terus menjelajah ruang kosong dalam datanya. Kenapa begitu? Karena itulah cara ia ditingkatkan.
Sistem diberi insentif untuk menghindari kebosanan algoritmik -yaitu kondisi di mana tidak ada informasi baru untuk diproses. Mesin akan bergerak mencari ketidaktahuan sebagai celah optimalisasi. Tidak ada keterlibatan emosional, tidak ada refleksi nilai, tidak ada rasa gentar atau ragu ketika menemukan kontradiksi.
Sementara manusia tidak belajar cuma karena perlu. Ada saat-saat ketika pertanyaan muncul tanpa sebab jelas. Ketika membaca novel picisan bisa melahirkan pertanyaan eksistensial. Ketika pertemuan singkat dengan orang asing justru menggugah keingintahuan tentang diri sendiri.
Pertanyaan yang muncul dari pengalaman semacam itu tidak bisa direkayasa secara sistemik. Dan justru di sanalah letak keunikan rasa ingin tahu manusia: ia tidak selalu logis, tetapi sangat bermakna.
Itu sebabnya, di tengah kemajuan AI yang luar biasa, mempertahankan rasa ingin tahu tetap penting. Bukan karena takut tertinggal oleh mesin, tapi karena di sinilah letak daya hidup yang tak bisa disubstitusi. Tanpa curiosity, manusia memang bisa terus hidup, tapi hidupnya akan datar -sekadar menunggu informasi datang, tanpa inisiatif untuk mencari, menguji, atau menolak.
Tanpa rasa ingin tahu, kebijaksanaan kehilangan fondasinya. Tidak mungkin bisa memahami dengan dalam kalau tidak ada keinginan untuk tahu lebih dari permukaan. Dan lebih dari itu, empati pun berakar dari curiosity. Tidak mungkin memahami orang lain tanpa terdorong untuk bertanya: apa yang dirasakan orang itu? Kenapa ia berpikir seperti itu? Apa yang terjadi dalam hidupnya?
Kehilangan curiosity berarti kehilangan koneksi dengan sesama manusia, dengan dunia, bahkan dengan diri sendiri. Maka pertanyaan di awal tadi justru perlu dibalik: bukan “apakah rasa ingin tahu masih perlu?”, tapi “apa yang tersisa dari manusia kalau rasa ingin tahu tidak lagi dipelihara?”
Mesin mungkin akan terus belajar lebih cepat dan lebih luas. Tapi satu hal yang tidak bisa dilakukan mesin adalah merasa terganggu karena tidak tahu. Cuma manusia yang bisa gelisah karena ketidaktahuan, dan cuma manusia yang bisa mengubah kegelisahan itu menjadi jalan pencarian yang penuh makna.
Dan selama itu masih mungkin dilakukan, rasa ingin tahu layak dipertahankan—bukan sebagai keunggulan, tapi sebagai pengingat bahwa menjadi manusia bukan cuma soal tahu, melainkan tentang keinginan untuk terus bertanya meski tidak tahu ke mana arah jawabannya.