Kalau Anda pernah berbicara dengan asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant, bisa jadi Anda pernah merasakan seolah-olah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang lebih dari sekadar perangkat elektronik. Mesin kecil itu bisa menjawab pertanyaan, memutar musik, bahkan bercanda. Tapi, apakah itu benar-benar "berpikir"? Atau hanya seolah-olah memahami kita?
Bisa jadi pertanyaan ini terdengar sederhana. Jangan salah, pertanyaan ini sebenarnya mengarah pada salah satu teka-teki dalam sejarah pemikiran manusia: apa itu pikiran, dan apakah sesuatu yang bukan manusia—seperti komputer—bisa memilikinya?
Ketika menyatakan "Aku berpikir, maka aku ada," filsuf René Descartes mengajukan gagasan bahwa pikiran adalah sesuatu yang unik, berbeda dari tubuh fisik. Pikiran kita, menurut Descartes, adalah esensi dari keberadaan kita, sesuatu yang tidak dapat disentuh atau diukur.
Namun di zaman Descartes, pada abad ke-17, belum ada komputer. Saat itu mungkin tidak ada yang pernah membayangkan bahwa suatu hari manusia akan menciptakan mesin yang mampu menjalankan fungsi-fungsi kompleks yang sebelumnya dianggap hanya bisa dilakukan oleh manusia.
Di abad ke-20, ketika komputer mulai diciptakan, pertanyaan ini muncul lagi dalam bentuk yang lebih teknis. Alan Turing, matematikawan Inggris, menggagas sesuatu yang revolusioner: bagaimana jika pikiran manusia sebenarnya hanyalah proses logis yang bisa direplikasi komputer? Turing bahkan merancang sebuah tes untuk menentukan apakah sebuah mesin dapat dianggap "cerdas." Kalau sebuah mesin bisa meniru cara manusia berpikir dan bertindak hingga kita tidak bisa membedakannya, bukankah itu berarti mesin tersebut memiliki pikiran?
Memahami pikiran bukanlah hal yang sederhana. Para filsuf, ilmuwan, dan teknolog telah lama memperdebatkan apakah pikiran adalah sesuatu yang hanya bisa muncul dari otak biologis, atau apakah ia hanyalah hasil dari proses-proses logis yang bisa ditiru oleh mesin.
Kita tahu bahwa otak manusia bekerja seperti jaringan kompleks, dengan miliaran neuron yang saling terhubung. Menariknya, jaringan saraf tiruan—yang menjadi dasar dari teknologi kecerdasan buatan modern seperti deep learning—terinspirasi dari cara otak kita bekerja. Tapi apakah ini cukup untuk mengatakan bahwa mesin-mesin tersebut benar-benar berpikir?
Ketika teknologi semakin maju, pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin mendesak. Hari ini, artificial intelligence (AI) tidak hanya membantu kita menjawab email atau mencari rute berkendara tercepat. AI pernah mengalahkan juara dunia permainan Go, melukis karya seni yang dijual dengan harga miliaran rupiah, bahkan menghasilkan teks dan musik yang menyaingi karya manusia. Tetapi apakah semua itu menunjukkan kecerdasan yang sebenarnya? Atau apakah itu hanya simulasi pintar dari sesuatu yang lebih mendalam, lebih kompleks—yang kita sebut "pikiran"?
Sebagai manusia, kita tidak hanya berpikir; kita juga merasa, bermimpi, dan merumuskan makna. Kita menafsirkan dunia dengan cara yang melibatkan pengalaman subjektif, sesuatu yang sulit—atau sekarang mungkin masih dianggap mustahil—untuk direplikasi oleh mesin. Ketika mesin memberikan jawaban yang tampak cerdas, apakah itu berarti mereka memahami maknanya? Atau apakah mereka hanya memainkan pola-pola statistik dari data yang telah diberikan kepada mereka?
Ini adalah pertanyaan yang menyentuh inti dari apa artinya menjadi manusia. Di era di mana teknologi semakin mengaburkan batas antara manusia dan mesin, memahami hubungan antara pikiran, komputer, dan AI bukan hanya persoalan akademik. Ini adalah persoalan eksistensial yang akan membentuk masa depan kita.
Jadi, ketika Anda berbicara dengan Siri, atau melihat sebuah lukisan yang diciptakan oleh AI, bolehlah meluangkan sejenak waktu untuk berpikir: apakah kita sedang menciptakan mesin yang benar-benar cerdas? Atau apakah kita hanya mengungkapkan sesuatu yang lebih mendalam tentang pikiran manusia itu sendiri? Jawabannya mungkin masih jauh, tetapi pertanyaannya membuka pintu untuk refleksi yang menarik.
Pertama kali terbit di Arina.id