Manusia cenderung terobsesi dengan kehidupan yang abadi di saat menyadari kefanaan hidupnya. Di berbagai budaya di seluruh dunia, ada mitologi tentang ramuan ajaib yang bisa membuat peminumnya menjadi entitas abadi. Di abad modern, obsesi itu tercermin dalam upaya keras untuk menemukan cara melawan penuaan dan degenerasi lewat pengobatan, terapi, dan gaya hidup.
Sekarang, di era digital, manusia mendapatkan cara baru untuk abadi. Tiga tahun lalu, Juni 2022, di acara pemakamannya sendiri, Marina Smith MBE hadir dan menjawab pertanyaan dari para pelayatnya. Dia hadir dalam bentuk hologram. Nenek yang meninggal pada usia 87 tahun itu bisa hadir di acara pemakamannya sendiri berkat teknologi artificial intelligence yang dikembangkan oleh startup bernama Storyfile. Selain Storyfile, ada beberapa startup lain yang memberikan layanan untuk memungkinkan seseorang menjadi abadi secara digital; seperti HearAfter AI, Eternos, dan Vocofy AI.
Keabadian digital ini berbeda dari bentuk-bentuk upaya menjadi abadi yang ditempuh di masa lalu. Piramida Mesir, lukisan dinding gua, hingga penulisan buku dulu menjadi cara untuk memastikan bahwa nama dan cerita seseorang tetap hidup meski tubuhnya sudah tidak ada. Seni dan tulisan memberi warisan yang bisa dinikmati orang banyak, menjadi bukti eksistensi manusia bagi generasi mendatang. Namun keabadian digital adalah sesuatu yang jauh lebih intim dan personal. Ia hadir seperti kapsul waktu pribadi, dirancang untuk menjaga hubungan yang bersifat individual tetap hidup, seolah-olah kehilangan tak pernah benar-benar terjadi.
Pertanyaannya, apakah keabadian digital ini benar-benar hidup, atau hanya arsip yang dirancang untuk menipu kita agar percaya bahwa mereka tetap ada?
Hidup, bagi banyak filsuf, tidak hanya sekadar keberlanjutan fisik atau eksistensi data. Kesadaran adalah inti dari persoalan ini. Bagi René Descartes, misalnya, kesadaran berpikir adalah inti dari keberadaan: Cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Tapi apakah representasi digital dapat berpikir, atau hanya memproses? Heidegger, di sisi lain, melihat kematian sebagai pengalaman yang mendefinisikan keberadaan manusia. Jika kematian bukan lagi batas akhir, apakah representasi digital kehilangan inti dari keberadaannya sebagai manusia?
Pertanyaan ini semakin dalam ketika kita berbicara dengan avatar digital yang meniru seseorang. Apakah kita sebenarnya berinteraksi dengan mereka, atau hanya dengan bayangan mereka yang dikemas dalam algoritma? Jika tidak ada kesadaran, apakah itu masih bisa disebut hidup? Atau, lebih tragis lagi, apakah keabadian digital sebenarnya tidak lebih dari ilusi, sebuah museum interaktif yang menyimpan potongan-potongan data tanpa makna baru? Identitas pun menjadi persoalan besar.
Ketika avatar digital terus "hidup" dan berinteraksi, apakah mereka masih menjadi bagian dari individu yang asli, ataukah mereka menciptakan identitas baru, terpisah dari keaslian manusia yang dulu mereka representasikan?
Di sisi lain, teknologi ini memaksa kita untuk merenungkan kembali arti kematian itu sendiri. Selama ini, kematian adalah garis akhir, sesuatu yang tak bisa dilampaui. Lalu, kalau kehadiran digital memungkinkan kita untuk terus "hidup," apa yang sebenarnya hilang dalam kematian?
Mungkin kematian bukan lagi soal keberakhiran, melainkan tentang perubahan bentuk eksistensi. Namun, apakah perubahan ini memberi kenyamanan sejati, atau justru menunda konfrontasi kita dengan makna kehilangan?
Dalam beberapa kasus, keluarga dan teman mungkin saja bisa merasa terbantu dengan keberadaan digital ini karena mereka bisa tetap terhubung. Tapi, pada saat yang sama, ada risiko menciptakan hubungan dengan sesuatu yang tidak sepenuhnya nyata, yang bisa mengaburkan proses berduka dan menerima kehilangan.
Di tengah semua ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa yang membuat hidup bermakna? Apakah itu terletak pada keberlanjutan eksistensi, atau pada pengalaman yang kita jalani saat ini?
Keabadian digital, dengan segala keajaiban dan tantangannya, memaksa kita untuk melihat ke dalam dan mengevaluasi kembali apa yang benar-benar penting. Barangkali, dalam pencarian kita untuk melampaui kematian, kita lupa bahwa keabadian tidak selalu tentang keberlanjutan, tetapi tentang dampak yang kita tinggalkan pada dunia dan orang-orang di sekitar kita.
Jadi, apakah kita membutuhkan keabadian? Atau, seharusnya, kita hanya membutuhkan keberanian untuk hidup penuh saat ini dan menerima akhir ketika ia datang?
Pertamakali diterbitkan di Arina.id