Dipecat AI? Begini Cara Mesin Menilai Emosi Kita dan Risikonya

Anthea Mairoudhiou tidak menyangka bahwa nasib kariernya ditentukan oleh sebuah algoritma. Selama bertahun-tahun ia bekerja dengan tekun sebagai penata rias di sebuah brand tata rias wajah yang perusahaan induknya berpusat di London. Tahun 2020 perusahaan itu mulai mengandalkan artificial intelligence (AI), sebuah sistem emotion recognition, untuk menilai performa karyawan.

AI yang dipakai untuk mengevaluasi ekspresi wajah dan intonasi suara dalam pertemuan daringnya menyimpulkan bahwa Anthea kurang antusias dan kurang berkomitmen. Tidak ada kesempatan untuk menjelaskan atau memberikan konteks—keputusan sudah dibuat. Dan begitulah, kontraknya tidak diperpanjang.

Padahal dalam pertemuan daring itu Anthea mencetak nilai penuh untuk penampilannya tetapi kehilangan pekerjaannya karena bahasa tubuhnya dinilai buruk. Ia kemudian mengajukan gugatan hukum ke perusahaan itu, dan belakangan kedua belah pihak menyetujui penyelesaian di luar pengadilan.

Kisah Anthea mencerminkan tren yang semakin meluas: AI semakin dilibatkan dalam aspek-aspek yang dahulu merupakan ranah manusia, termasuk dalam membaca dan memahami emosi. Pertanyaannya, apakah AI benar-benar mampu memahami emosi manusia, ataukah ia sekadar mengenali pola tanpa pemahaman yang sesungguhnya?

Kita terbiasa membaca ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh orang lain untuk memahami bagaimana perasaan mereka. Ini bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bagian dari pengalaman yang kita pelajari melalui interaksi sosial, pengalaman pribadi, dan empati. AI, di sisi lain, beroperasi secara berbeda. Sistem pengenalan emosi bekerja dengan menganalisis data dalam jumlah besar, mengidentifikasi pola dari ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahkan pilihan kata dalam percakapan.

Sistem ini memungkinkan AI mampu mengenali emosi sehingga bisa dipakai untuk berbagai keperluan: mulai dari meningkatkan interaksi chatbot dalam customer service hingga membantu diagnosis dalam bidang kesehatan mental. Dalam teori, kemampuan ini terdengar menjanjikan.

Namun, ada satu kendala mendasar: AI tidak memiliki pengalaman subjektif. Ia tidak pernah merasakan kegembiraan, kesedihan, atau kemarahan. Ia cuma mengolah data dan memberikan probabilitas berdasarkan pola yang telah dipelajarinya dari kumpulan data sebelumnya.

Sekarang cobalah membayangkan seseorang yang baru pertama kali melihat wajah tersenyum. Ia mungkin bisa mengenali bahwa senyum umumnya diasosiasikan dengan kebahagiaan karena telah diajarkan demikian. Namun, apakah ia benar-benar memahami apa itu kebahagiaan dari orang yang tersenyum itu? Ini mirip dengan cara AI bekerja: ia bisa mengasosiasikan ekspresi wajah dengan kategori emosi tertentu, tetapi tidak pernah benar-benar merasakan emosi itu.

AI tidak benar-benar memahami emosi. Ia hanya mengenali pola yang dapat membentuk ekspresi yang tampak manusiawi, tetapi tanpa kesadaran akan makna di baliknya. Seperti seorang aktor yang memerankan karakter dalam sebuah film secara buruk, AI bisa menampilkan ekspresi dan memberikan respons yang tampak autentik, tetapi itu semua cuma simulasi berdasarkan data, bukan hasil dari pengalaman emosional yang sesungguhnya.

Masalahnya, banyak orang memperlakukan sistem ini seolah-olah benar-benar memiliki kapasitas untuk memahami perasaan manusia. Dalam dunia kerja, seperti yang dialami Anthea, keputusan-keputusan penting mulai bergantung pada sistem yang tidak memiliki kesadaran akan dampak sosial atau emosional dari keputusannya. Ini membawa kita ke pertanyaan yang lebih besar: apakah kita benar-benar ingin AI yang mampu memahami emosi, ataukah kita sebenarnya cuma menginginkan AI yang bisa meniru empati dengan cukup baik sehingga tampak manusiawi?

Kita perlu berhati-hati. Ilusi pemahaman bisa berbahaya kalau dibiarkan tanpa pengawasan.

Dalam dunia kesehatan mental, misalnya, AI yang tampak “empatik” memang bisa dipakai sebagai alat bantu terapi. Namun, pada saat yang sama, juga bisa menciptakan kesalahpahaman. AI mungkin bisa mengidentifikasi tanda-tanda depresi dalam pola bicara seseorang, tetapi tidak bisa memahami konteks emosional di baliknya, seperti trauma masa lalu atau pengalaman hidup yang membentuk kondisi mental seseorang.

Dalam dunia bisnis, sistem evaluasi karyawan berbasis emosi bisa memperburuk ketidakadilan, karena AI tidak bisa memahami konteks atau alasan di balik ekspresi wajah seseorang.

Ketimbang berusaha menciptakan AI yang benar-benar bisa memahami emosi, kita seharusnya lebih fokus pada bagaimana teknologi ini dipakai dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. AI bukanlah pengganti interaksi manusia, tetapi alat yang bisa dipakai untuk mendukungnya. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih waspada terhadap penggunaannya dan tidak jatuh ke dalam jebakan memperlakukan AI seolah-olah ia memiliki kesadaran atau perasaan.

Pertanyaan terbesarnya bukanlah apakah AI bisa memahami emosi, tetapi mengapa kita ingin ia memilikinya. Apakah ini karena kita ingin teknologi yang lebih manusiawi, ataukah karena kita sendiri semakin kehilangan kemampuan untuk terhubung secara emosional dengan sesama manusia?

Tanpa disadari, kita bisa saja sampai pada titik di mana kita lebih percaya pada respons algoritma ketimbang empati manusia. Kalau sampai itu terjadi, mungkin masalah sebenarnya bukanlah terletak pada artificial intelligence, tetapi pada kita sendiri, pada bagaimana kita membangun hubungan di dunia yang semakin didominasi teknologi.


Pertama kali diterbitkan di Arina.id

Kontak