AI, Efisiensi, dan Krisis Tujuan dalam Dunia Kerja

Kita hidup dalam era yang riuh dengan janji teknologi. AI (artificial intelligence) disebut-sebut akan mengubah cara kita bekerja, mempercepat proses, meningkatkan efisiensi, bahkan menggantikan sebagian besar pekerjaan manusia. Tapi di tengah itu semua, ada satu kenyataan yang tidak bisa diabaikan: tidak semua janji itu menjadi nyata.

Sebuah studi yang melibatkan 7.000 tempat kerja dan 25.000 pekerja di Denmark menunjukkan bahwa meskipun AI -terutama dalam bentuk chatbot- mulai dipakai, dampaknya sejauh ini nyaris tidak terasa. Ada penghematan waktu kerja, ya, tapi kecil: sekitar 3 persen saja. Gaji tidak naik. Tidak ada perubahan yang berarti dalam produktivitas. Dan waktu yang berhasil dihemat pun menghasilkan nilai yang jelas. AI hadir, tapi kehidupan kerja tetap sama.

Mungkin masalahnya bukan pada teknologinya. Mungkin yang perlu ditinjau ulang justru cara kita memaknai teknologi dalam manajemen.

Terlalu sering kita memperlakukan alat sebagai tujuan. Seolah dengan mengadopsi sesuatu yang baru, kita sedang bergerak maju. Padahal, alat cuma alat. Tanpa arah yang jelas, tanpa pertimbangan menyeluruh, teknologi cuma menambah aktivitas, bukan menciptakan nilai.

Dalam banyak organisasi, AI seakan diperkenalkan dengan semangat kejar-kejaran. Takut tertinggal. Takut dibilang lambat. Tapi ketergesaan ini sering kali tidak disertai pemikiran matang tentang bagaimana AI seharusnya diintegrasikan ke dalam kerja. Akibatnya, teknologi ditempelkan begitu saja ke sistem lama; tanpa ada perubahan dalam struktur, proses, atau relasi antar manusia yang bekerja di dalamnya.

Kita terlalu terpaku pada angka. Pada janji efisiensi. Tapi jarang bertanya: efisiensi untuk siapa? Apakah ia membuat kerja menjadi lebih manusiawi, atau justru mendorong orang menjauh dari makna pekerjaan mereka? Apakah ia membantu pekerja berkembang, atau cuma mempercepat proses yang sebenarnya tidak perlu?

Banyak organisasi berharap AI akan mempercepat semuanya. Tapi mempercepat apa? Dalam kondisi seperti ini, kecepatan malah bisa memperdalam kekeliruan. Kalau arah tidak jelas, berjalan lebih cepat itu cuma membuat kita tersesat lebih jauh.

Sementara itu, kita tahu bahwa pengetahuan dalam organisasi tidak lahir dari sistem otomatis. Ia tumbuh dari dialog, dari pengalaman, dari pertukaran antarmanusia. AI memang bisa meringkas laporan dan menyarikan informasi. Tapi ia tidak bisa menggantikan proses manusia saling memahami konteks, saling mengasah intuisi, saling memberi makna pada apa yang sedang dikerjakan.

Dan itulah yang sering terlupakan dalam logika manajerial modern. Teknologi dipuja, tapi manusia direduksi. Hubungan kerja menjadi soal target dan metrik. Padahal kerja, sejatinya, lebih dari sekadar menyelesaikan tugas. Kerja adalah bagian dari cara kita merasa terhubung dengan dunia, merasa berguna, dan menyusun makna tentang siapa diri kita.

Ketika sebagian besar proses kerja dialihkan ke mesin, kita memang bisa lebih cepat, tapi kita juga berisiko kehilangan hubungan dengan pekerjaan itu sendiri. Kita kehilangan alasan. Kita kehilangan perasaan bahwa apa yang kita lakukan berarti.

Karena itu, dalam menghadapi gelombang AI, organisasi tidak cukup cuma adaptif. Yang dibutuhkan bukan sekadar manajer yang sigap, tapi pemimpin yang tahu kapan harus berpikir ulang, kapan harus berhenti, dan kapan harus bertanya lebih dalam. Keputusan terbaik bukan yang paling cepat, tapi yang paling jernih. Kadang, keberanian yang paling besar justru terletak pada kesediaan untuk tidak ikut-ikutan.

Saya percaya bahwa AI bukan sulap. Ia tidak akan menyelesaikan masalah hanya karena ia baru dan canggih. Tapi ia juga bukan ancaman. Ia bisa menjadi alat bantu yang sangat berguna, asal kita tidak lupa siapa yang memegang kendali.

Fokus utama kita seharusnya bukan pada seberapa cepat kita mengadopsi teknologi, melainkan pada seberapa jelas arah yang ingin kita tuju. Dan arah itu cuma bisa ditentukan kalau kita berani bertanya ulang: apa yang sedang kita bangun, dan untuk siapa?

Maka ketika semua orang sibuk berbicara tentang kecepatan, mungkin kita justru perlu berhenti sejenak. Menimbang ulang. Karena dalam dunia yang bergerak terlalu cepat, kemampuan untuk bertanya dengan tenang bisa menjadi bentuk kepemimpinan yang paling penting.

Kontak