Pernah saya bertemu seorang anak muda yang ingin menerbitkan sebuah novel. Lewat novel itu dia ingin memberi nasihat kepada pembacanya untuk berbuat baik. Ia menghadirkan karakter baik dan karakter jahat di dalam ceritanya.
Karakter jahat dalam cerita itu digambarkan sebagai seorang lelaki muda yang suka mabuk-mabukan. Di salah satu bagian cerita itu, penulis ini membuat adegan yang menggambarkan si karakter jahat menghabiskan berbotol-botol wiski sendirian di sebuah tempat yang ia sebut klub malam. Karena menghabiskan berbotol-botol wiski, si karakter jahat itu mabuk berat dan muntah-muntah di toilet.
Saya bertanya, “Kamu pernah minum wiski?” Anak muda itu menggelengkan kepala.
“Punya teman yang suka minum wiski?” Dia juga menggeleng.
“Pernah melihat orang mabuk karena minum wiski?” Sama. Dia masih menggeleng.
“Tahukah berapa banyak wiski yang perlu diminum orang supaya mabuk?” Dia tetap menggeleng.
Bagi penikmat minuman beralkohol, dan juga pembaca yang pernah mabuk atau melihat orang mabuk minuman beralkohol, adegan yang ditulis anak muda itu tidak meyakinkan. Bagi pembaca yang tidak pernah mabuk atau melihat orang mabuk, adegan tadi bisa menyesatkan.
Tidak perlu berbotol-botol wiski untuk membuat seseorang mabuk. Orang yang meminum berbotol-botol wiski sendirian di satu waktu bukanlah pemandangan yang lazim -bahkan mungkin tidak pernah ada.
“Apakah saya harus mabuk dulu supaya bisa menulis cerita tentang orang mabuk?” Dia balik bertanya.
“Tidak harus,” kata saya, “Sama seperti halnya kamu tidak harus mati dulu untuk bisa menulis adegan orang yang sedang sekarat.”
Riset. Penulis hanya perlu melakukan riset, apa pun bentuknya, untuk memastikan gambar, pengalaman maupun gagasan yang dibagikan dalam tulisannya itu meyakinkan dan tidak menyesatkan pembacanya.
Riset bukan cuma perlu dilakukan oleh orang yang menulis topik yang tidak ia kuasai. Bahkan seorang yang cukup mengetahui suatu bidang, masih akan tetap menghadapi kebutuhan untuk riset ketika menulis bidang itu. Tidak ada penulis yang terbebas dari ketidaktahuan.
Setiap penulis selalu menemukan bagian yang menyadarkan dirinya bahwa ada hal yang sesungguhnya tidak ia tahu. Ada bagian dalam proses menulis yang merupakan proses menguji diri sendiri: seberapa tahu kita atas satu atau beberapa hal? Itu adalah bagian ketika seorang penulis terlibat dalam dialog socratic dengan dirinya sendiri.
Ketika sampai di bagian itu dalam proses menulis, biasanya seorang penulis akan memasuki pengalaman meditatif yang memberi kesadaran bahwa dirinya tidak seberpengetahuan seperti yang dia kira selama ini.
Kesadaran itu bisa mendorong orang ke arah sikap yang bijaksana: mengakui ketidaktahuan; dan oleh karena itu selalu bersikap waspada terhadap klaim, lebih leluasa untuk berempati, dan bersiap untuk belajar sepanjang hayat dengan kerendahan hati.
“Aku sadar bahwa aku sama sekali tidak tahu,” kata filsuf Socrates seperti dikutip Plato, muridnya, dalam Apologia. Socrates menjadi manusia bijaksana karena ia mengakui ketidaktahuannya itu.
Dalam konteks proses menulis, kesadaran atas ketidaktahuan itu tidak untuk menghentikan proses menulis. Sikap bijaksana itu mengandung panggilan untuk melakukan riset agar bisa memberi bacaan yang meyakinkan dan tidak menyesatkan kepada pembacanya.
Jangan batalkan proses menulis ketika Anda menyadari ada beberapa hal yang tidak Anda ketahui. Anda hanya perlu kecakapan untuk melakukan riset. Kecakapan itu bisa dipelajari dan dilatih.