Alan Turing, John Searle, dan Misteri di Balik Pikiran Manusia

Ketika menjalankan sebuah aplikasi di ponsel, bisa jadi sebagian besar dari kita tidak terlalu ambil pusing bagaimana aplikasi itu merespon perintah kita. Kita mungkin tidak terlalu memikirkan bagaimana hardware dan software di dalam ponsel itu bekerja bersama dan saling terkait. Yang kita tahu, pokoknya, semuanya berjalan lancar. 

Padahal, tentu saja, hardware dan software itu saling terkait. Nah, bagaimana kalau hubungan keduanya itu dipakai sebagai analogi untuk memahami pikiran dan otak manusia? Bisakah otak dipandang sebagai perangkat keras, dan pikiran dipandang sebagai program yang berjalan di atasnya?

Pertanyaan ini membawa kita pada salah satu pendekatan paling menarik dalam memahami pikiran: computationalism. Teori ini berpendapat bahwa pikiran manusia bisa dipahami sebagai serangkaian proses komputasi, mirip dengan program yang dijalankan oleh komputer. 

Dalam pandangan ini, otak bertindak sebagai perangkat keras, sedangkan pikiran adalah perangkat lunak yang dijalankan oleh otak. Gagasan ini memungkinkan kita untuk membayangkan pikiran sebagai sesuatu yang bisa dipahami secara logis dan mekanis, bukan sekadar sesuatu abstrak.

Gagasan ini menemukan pijakan kuat melalui pemikiran Alan Turing, seorang matematikawan yang memperkenalkan konsep bahwa mesin bisa meniru proses-proses logis yang mendasari kemampuan berpikir manusia. 

Turing mengembangkan Turing Machine, prototipe konseptual dari komputer modern, untuk menunjukkan bahwa segala bentuk komputasi bisa direduksi menjadi algoritma yang dijalankan pada perangkat keras tertentu. Kalau pikiran adalah hasil dari proses logis, maka secara teoritis, menciptakan mesin yang mampu 'berpikir' bukanlah hal yang mustahil.

Tidak semua orang setuju dengan optimisme ini. John Searle, seorang filsuf terkemuka, mengkritik pandangan bahwa pikiran bisa direduksi menjadi proses komputasi ini. 

Dalam eksperimen pikiran yang dikenal sebagai Chinese Room, Searle mengajukan skenario imajiner di mana seseorang yang tidak mengerti bahasa Mandarin diberi panduan untuk memanipulasi simbol-simbol Mandarin agar menghasilkan respons yang tampak masuk akal bagi penutur asli Mandarin. Meskipun orang tersebut bisa mengikuti aturan untuk memproduksi jawaban yang benar, ia tidak memahami arti dari simbol-simbol itu. 

Searle menggunakan analogi ini untuk berargumen bahwa meskipun komputer bisa memproses informasi dan menghasilkan respons yang terlihat “cerdas,” komputer tidak benar-benar memahami apa pun. Mereka hanya memanipulasi simbol berdasarkan aturan.

Pandangan Searle menunjukkan kelemahan utama dalam computationalism: kesadaran dan pemahaman subjektif, atau qualia. Ketika kita merasakan hangatnya sinar matahari di wajah atau menikmati keindahan melodi musik, pengalaman itu begitu personal sehingga sulit untuk dijelaskan sebagai hasil dari algoritma logis. Menurut Searle, pemrosesan simbol tidak cukup untuk menghasilkan pemahaman yang sejati, dan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apakah pikiran lebih dari sekadar proses komputasi.

Meskipun ada kritik mendalam terhadap computationalism, pendekatan ini tetap memberikan kontribusi signifikan pada perkembangan teknologi. Dengan memandang pikiran sebagai serangkaian proses komputasi, kita bisa memecah kompleksitasnya menjadi bagian-bagian yang lebih mudah dipelajari. Pendekatan ini tidak hanya membantu kita memahami otak manusia, tetapi juga telah menginspirasi perkembangan dalam kecerdasan buatan (AI), termasuk algoritma pembelajaran mesin yang digunakan dalam aplikasi sehari-hari seperti pengenalan suara atau rekomendasi konten.

Sementara itu, kalau kita menerima argumen Searle, maka pikiran mungkin melibatkan sesuatu yang lebih dalam: sesuatu yang tidak bisa direduksi menjadi proses komputasi. Otak manusia, sebagai perangkat biologis yang kompleks, tidak hanya menjalankan “program” tetapi juga menciptakan pengalaman subjektif yang melampaui apa yang bisa dijelaskan oleh algoritma logis. Ini mengingatkan kita bahwa analogi antara otak dan komputer, meskipun bermanfaat, tetap memiliki keterbatasan.

Jadi, apakah pikiran manusia hanyalah program yang dijalankan oleh otak, ataukah ia mencakup dimensi yang lebih dalam, yang tidak bisa direduksi oleh logika komputasi? Apa pun jawabannya, pandangan Turing dan Searle sama-sama memberikan wawasan berharga. Turing membantu kita memahami bagaimana pikiran bisa direpresentasikan secara mekanis, sementara Searle mengingatkan kita bahwa pengalaman subjektif manusia tidak bisa diabaikan. 

Ketika teknologi dan ilmu saraf terus berkembang, mungkin kita akan mendekati jawaban atas pertanyaan tadi. Pada saat yang sama kita boleh berharap para filsuf akan bisa dengan kritis merespon perkembangan itu dengan pendekatan yang melampaui sains.

 

 

Kontak