Ada waktunya kita pernah mengalami hari yang melelahkan. Tubuh terasa berat, energi seolah habis, tetapi pikiran justru sebaliknya—terus bersemangat, memikirkan berbagai ide, pekerjaan, atau macam-macam rencana yang belum selesai. Atau mungkin, situasinya terbalik: tubuh terasa sehat, tetapi pikiran dipenuhi kecemasan atau keraguan yang tidak henti-hentinya.
Apakah itu menandakan bahwa pikiran dan tubuh kita adalah dua hal yang benar-benar terpisah? Ataukah keduanya saling memengaruhi dengan cara yang lebih kompleks dari yang terlihat?
Itu bukan pertanyaan kontemporer. Isu ini sudah menjadi topik perdebatan selama berabad-abad.
Salah satu pandangannya datang dari René Descartes, filsuf Prancis abad ke-17. Dalam pandangannya, pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang sepenuhnya terpisah.
Tubuh, menurut Descartes, adalah mesin fisik yang tunduk pada hukum alam, sementara pikiran adalah sesuatu yang berbeda—non-fisik, tidak dapat disentuh atau diukur. Pikiran adalah esensi sejati dari keberadaan kita, sebagaimana diringkas dalam ungkapan terkenalnya, “Aku berpikir, maka aku ada.”
Gagasan Descartes tidak cuma berhenti pada pemisahan ini. Ia juga mencoba menjelaskan bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi.
Bagi Descartes, pikiran seperti pengemudi kereta, mengarahkan tubuh untuk bergerak dan bertindak. Tetapi hubungan ini jauh dari sederhana. Pikiran bisa memengaruhi tubuh, seperti ketika kecemasan membuat jantung berdebar, dan tubuh bisa memengaruhi pikiran, seperti ketika rasa sakit memaksa Anda untuk menghentikan pekerjaan.
Gagasan dualisme ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana sesuatu yang non-fisik, seperti pikiran, dapat memengaruhi sesuatu yang fisik, seperti tubuh?
Di sisi lain, ada pandangan yang sama sekali berbeda tentang pikiran, yang dikenal sebagai materialisme. Menurut para filsuf materialis, pikiran bukanlah entitas yang terpisah dari tubuh. Sebaliknya, pikiran adalah hasil dari aktivitas otak.
Dalam pandangan ini, otak adalah pusat dari semua pengalaman manusia—dari berpikir hingga merasa. Neuron-neuron dalam otak kita, dengan miliaran koneksi di antaranya, menciptakan kesadaran melalui proses biologis dan kimiawi. Bagi seorang materialis seperti Daniel Dennett, tidak ada “esensi” non-fisik; pikiran hanyalah hasil dari fungsi otak yang sangat kompleks.
Materialisme ini menjadi semakin relevan di era modern, ketika ilmu pengetahuan membawa kita lebih dekat untuk memahami otak manusia. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua aspek pikiran dapat dilacak ke aktivitas otak.
Emosi, misalnya, terkait dengan bagian otak yang disebut amigdala, sedangkan ingatan melibatkan bagian lain otak yang disebut hippocampus. Bahkan, gangguan pada otak sering kali secara langsung memengaruhi pikiran, seperti yang terlihat pada kasus Alzheimer atau cedera otak traumatis.
Namun, pandangan materialisme juga tidak bebas dari permasalahan. Kalau pikiran cuma hasil dari aktivitas otak, bagaimana kita menjelaskan pengalaman subjektif yang begitu unik? Bagaimana kita memahami rasa cinta, keindahan, atau bahkan kesadaran itu sendiri, yang terasa lebih dari sekadar proses biologis? Pertanyaan ini membawa kita pada inti dari misteri pikiran: apakah semua yang kita rasakan dan pikirkan dapat direduksi menjadi aktivitas saraf, atau apakah ada sesuatu yang lebih dari itu?
Pemahaman kita tentang pikiran memengaruhi banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Dalam urusan kesehatan mental, misalnya, pendekatan materialis mendorong solusi berbasis obat atau terapi fisik untuk mengatasi masalah kecemasan atau depresi. Sebaliknya, pandangan yang lebih dekat dengan dualisme lebih mengakui pentingnya pendekatan holistik, seperti meditasi atau refleksi spiritual, untuk menyembuhkan pikiran. Keduanya menawarkan jalan yang berbeda tetapi berharga dalam menghadapi kompleksitas manusia.
Pandangan tentang pikiran juga memengaruhi bagaimana kita memandang teknologi. Kalau kita percaya pada materialisme, maka artificial intelligence suatu hari mungkin benar-benar bisa meniru pikiran manusia, karena semuanya cuma soal mereplikasi proses otak. Tetapi kalau dualisme benar, maka mungkin ada batasan fundamental yang tidak bisa dicapai oleh mesin, karena pikiran manusia melibatkan sesuatu yang melampaui materi.
Tentulah ketika kita merasa stres atau sakit, kita mungkin tidak langsung mencari jawaban dalam teori-teori ini. Tetapi perasaan itu mengingatkan kita bahwa hubungan antara pikiran dan tubuh masih penuh dengan misteri. Pertanyaan-pertanyaan di seputar masalah ini mendorong kita untuk terus bertanya dan mencari pemahaman lebih mendalam tentang diri kita sendiri.
Perdebatan antara pandangan dualisme dan materialisme ini adalah pengingat tentang betapa kompleksnya manusia dan bagaimana kita terus berusaha memahami esensi dari keberadaan kita. Dalam setiap pikiran dan setiap sensasi, ada pelajaran tentang apa artinya menjadi manusia.
Pertamakali diterbitkan di Arina.id