Kepada beberapa kawan yang bekerja sebagai guru atau dosen, saya pernah bertanya, "Apakah sebaiknya pelajar atau mahasiswa diperbolehkan menggunakan artificial intelligence dalam proses belajar?"
Jawabannya beragam. Ada yang menolak mentah-mentah, khawatir siswa jadi malas berpikir. Ada juga yang memperbolehkan, asal digunakan dengan batasan tertentu.
Apa pun sikap kita terhadap teknologi ini—mendukung atau melarang— artificial intelligence (AI) akan tetap dipakai oleh para siswa. Teknologi ini mulai menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Ketimbang melarang, menurut saya, lebih baik para pendidik memberi arahan agar AI bisa digunakan secara tepat, benar, dan bijak. AI digunakan bukan pengganti proses berpikir melainkan sebagai alat bantu. Mereka juga didorong untuk memahami aturan mainnya agar tidak terjebak ke dalam plagiarisme, dan tetap menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemampuan lain.
Meski begitu, ada satu hal yang perlu kita waspadai. AI sering kali memberikan ilusi kemandirian.
Seorang siswa, misalnya, bisa menyelesaikan esai lengkap hanya dengan mengetikkan beberapa perintah ke chatbot seperti ChatGPT, Gemini, atau Copilot. Dalam sekejap, tugas selesai. Di balik kenyamanan itu, ada “bahaya” yang tersembunyi: siswa jadi merasa tidak perlu melibatkan orang lain. Mereka sangat mungkin berpikir bahwa komunikasi dengan komputer sudah cukup menggantikan komunikasi langsung dengan manusia. Padahal di sinilah letak masalahnya.
Keterampilan interpersonal dan sosial belum bisa digantikan oleh teknologi. Misalnya, kemampuan mendengarkan dengan empati, memahami ekspresi wajah, atau membaca nada suara—semua ini hanya bisa dipelajari melalui interaksi langsung. Dalam kehidupan nyata, keterampilan seperti ini sering kali menentukan kesuksesan. Kita pasti pernah melihat seseorang dengan ide biasa-biasa saja, tapi karena cara mereka menyampaikan begitu meyakinkan, ide itu diterima. Inilah pentingnya keterampilan sosial.
Ketergantungan pada AI bisa membuat keterampilan ini terabaikan. Mereka yang terbiasa dengan teknologi sering kali lebih nyaman berbicara dengan layar daripada dengan teman sebaya. Mereka mungkin ahli mendapatkan jawaban dari chatbot, tetapi bagaimana dengan kemampuan berdebat, bekerja sama, atau memahami sudut pandang orang lain?
Pendidik punya peran penting untuk menjembatani ini. Pendidik bisa merancang tugas yang mendorong siswa untuk berinteraksi langsung, seperti diskusi kelompok tanpa bantuan teknologi atau simulasi pemecahan masalah, misalnya. Dengan begitu, mereka belajar bahwa tak semua jawaban bisa ditemukan dalam satu klik, dan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran. Ini juga membantu mereka memahami pentingnya kerja sama dan mendengarkan.
Kita tidak perlu menolak teknologi. AI bisa menjadi alat pendukung yang efektif. Siswa bisa menggunakan AI, misalnya, untuk mengumpulkan data atau membuat draft awal, tapi hasil akhirnya harus mereka diskusikan dalam kelompok. Dengan cara ini, mereka tidak hanya belajar membuat konten, tapi juga mengasah kemampuan menyampaikan ide dan menerima umpan balik.
Pendidikan di era AI, saya kira, bukan soal memilih antara teknologi atau hubungan manusia. Kita membutuhkan keduanya, dengan keseimbangan yang tepat. Teknologi bisa mempermudah banyak hal, tetapi hubungan manusia adalah yang membentuk kita sebagai manusia sesungguhnya. Itulah yang perlu kita jaga.
Esai ini pertama kali diterbitkan di Arina.id