Mengejar Algoritma, Menjalani Absurditas

Laporan Future of Jobs Report 2025 memberi gambaran yang tak bisa diabaikan: kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) dan otomatisasi terus mengubah dunia kerja dengan cara yang fundamental. Banyak pekerjaan administratif dan manual diprediksi akan hilang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, digantikan oleh mesin yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisien. Namun, di sisi lain, pekerjaan yang berbasis kreativitas dan teknologi justru semakin berkembang.

Dalam daftar pekerjaan yang tumbuh, ada profesi seperti spesialis kecerdasan buatan, analis data, dan pengembang perangkat lunak. Ada satu bidang lagi yang menarik perhatian: industri kreatif digital.

Kreator konten sering dianggap sebagai salah satu wajah baru dunia kerja itu. Mereka tidak terikat jam kantor, bebas mengekspresikan diri, dan punya potensi penghasilan yang jauh lebih besar dibanding pekerjaan konvensional.

Dari luar, pekerjaan ini tampak seperti kebebasan yang sejati—tidak ada bos yang mengawasi, tidak ada rutinitas yang mengekang. Tapi ada satu hal yang jarang disadari: kreator konten tidak benar-benar bekerja untuk manusia. Mereka bekerja untuk algoritma.

Setiap platform digital punya algoritma yang menentukan video mana yang akan muncul di beranda pengguna, tulisan mana yang akan direkomendasikan, dan konten mana yang akan diabaikan. Tidak ada aturan yang benar-benar transparan. Tidak ada kepastian yang bisa dipegang. Kreator konten cuma bisa menebak-nebak pola yang selalu berubah, mencoba memahami logika mesin yang tidak benar-benar bisa mereka pahami dan kendalikan.

Mereka terjebak dalam siklus tanpa akhir. Mengunggah konten, mengecek engagement, menganalisis performa, mencari celah dalam sistem. Satu video bisa viral hari ini, tapi bisa juga tenggelam keesokan harinya tanpa alasan yang jelas.

Kalau views turun, mereka panik. Kalau engagement naik, mereka tetap tidak bisa santai, karena tren selalu bergeser. Mereka terus-menerus bekerja, bukan cuma untuk menciptakan sesuatu yang bermakna, tetapi untuk tetap relevan di hadapan sistem yang menentukan siapa yang akan bertahan dan siapa yang akan dilupakan.

Semuanya terasa seperti kerja yang absurd, mengingatkan pada Sisyphus dalam mitologi Yunani. Dihukum untuk mendorong batu ke puncak bukit, cuma untuk melihatnya jatuh kembali, dan mengulanginya selamanya. Kreator konten mengalami pola yang sama. Mereka membangun momentum, mencapai puncak, lalu kehilangan segalanya ketika algoritma berubah. Mereka kembali dari awal, mencoba lagi, mencari strategi baru, menyesuaikan diri dengan tren yang terus bergeser.

Tapi absurditas ini tidak cuma terjadi dalam dunia digital. Di berbagai sektor, teknologi seharusnya membebaskan manusia dari pekerjaan repetitif, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Mesin menggantikan tugas-tugas manusia, tetapi manusia tidak benar-benar terbebas—mereka cuma terjebak dalam kerja dengan bentuk yang berbeda. Di pabrik, buruh yang digantikan oleh robot kini bekerja sebagai operator mesin, mengawasi perangkat yang semakin cerdas. Di dunia perkantoran, pekerjaan administratif berkurang, tetapi tekanan untuk memenuhi target yang semakin tinggi justru meningkat.

Teknologi tidak selalu membuat hidup lebih mudah. Ia cuma mengubah cara kita bekerja, tetapi tetap menuntut kita untuk terus mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa kita kejar.

Tidak terlalu relevan untuk mempertanyakan apakah kita bisa melawan sistem. Lebih pas mempertanyakan bagaimana kita menjalani hidup di dalamnya.

Kalau algoritma terus berubah dan sistem semakin menuntut, apakah kita akan terus menyesuaikan diri dengan permainan yang tak pernah bisa dimenangkan? Kalau pekerjaan kita semakin absurd, apakah kita akan menyerah atau justru mencari makna di dalam absurditas itu?

Kita masih punya pilihan. Kita bisa terus mengejar algoritma, membiarkan sistem menentukan siapa diri kita, atau kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita bekerja untuk sesuatu yang benar-benar berarti, atau cuma untuk mesin yang terus meminta lebih?

Kita bisa terus mendorong batu ke atas bukit, tetapi kalau suatu hari batu itu jatuh, mungkin bukan kita yang gagal. Bisa jadi bukit itu tidak seharusnya ada.


Pertama kali terbit di Arina.id

Kontak