Tidak berselang lama sejak berita tentang konfrontasi antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Wakil Presiden JD Vance di Ruang Oval Gedung Putih, di Internet beredarlah video yang memperlihatkan Zelensky berkelahi dengan Trump. Banyak pengguna internet tertawa melihat video itu, sadar bahwa perkelahian tersebut cuma rekayasa digital.
Apalagi, selain video tadi, beredar juga rangkaian video lain yang memperlihatkan banyak kejadian konyol yang mengundang tawa dalam event pertemuan kedua presiden itu. Dan semua video itu adalah fake, jadi-jadian, bukan kejadian yang sesungguhnya.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Ini bukan tentang presiden, tetapi tentang tersangka kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga. Di banyak grup Whatsapp beredar video yang memperlihatkan Riva Siahaan, salah satu tersangka dalam kasus itu, berbuka puasa dengan meminum bahan bakar berwarna biru disusul dengan semburan api yang keluar dari mulutnya. Pasti, itu juga video jadi-jadian yang mungkin membuat sebagian rakyat Indonesia tersenyum di tengah kegeramannya terhadap praktik korupsi.
Video-video jadi-jadian seperti itu adalah hasil teknologi berbasis artificial intelligence yang dikenal sebagai deepfake. Deepfake, dengan kemampuannya menciptakan realitas palsu yang meyakinkan, semakin dipahami sebagai bagian dari budaya digital kita. Teknologi ini lazim dipakai dalam meme culture dan satir politik. Kemampuan AI dalam menerapkan wajah dan postur seseorang dengan sangat realistis membuatnya populer sebagai bahan komedi di media sosial.
Di tengah banyaknya deepfake yang beredar sebagai hiburan, muncul persepsi bahwa deepfake cuma sekadar "editan biasa" yang tidak perlu dianggap serius. Budaya digital kita cenderung permisif terhadap manipulasi visual. Ketika seseorang melihat deepfake, sering kali responsnya cuma sekadar tertawa dan membagikannya, tanpa berpikir panjang tentang implikasi yang lebih besar.
Semakin sering kita mengonsumsi konten deepfake yang bersifat lucu atau satir, semakin kecil kemungkinan kita melihatnya sebagai sesuatu yang berbahaya. Nyatanya, deepfake bisa lebih dari sekadar humor digital. Teknologi yang sama, yang membuat kita tertawa, bisa dipakai untuk tujuan yang jauh lebih jahat.
Salah satu bentuk penyalahgunaan deepfake yang paling mengerikan adalah pornografi jadi-jadian. Liputan VICE akhir tahun lalu mengungkap bahwa terdapat bot di platform Telegram yang mampu "menelanjangi" foto perempuan berpakaian lengkap menggunakan AI. Bot ini memungkinkan siapa saja mengunggah foto seorang perempuan dan dalam hitungan detik mengubahnya menjadi gambar seksual yang eksplisit. Pada Oktober 2024, menurut VICE, bot ini punya 4 juta pengguna bulanan. Itu menandakan betapa luasnya penyalahgunaan teknologi ini.
Kalau deepfake cuma dianggap sebagai "sekadar teknologi editan," lalu bagaimana dengan orang-orang yang menjadi korbannya? Deepfake pornografi adalah bentuk pelecehan digital yang sangat merusak. Korban tidak cuma kehilangan kendali atas citra dirinya, tetapi juga mengalami trauma psikologis, tekanan sosial, dan bahkan pemerasan. Celakanya, menghapus video deepfake dari internet hampir mustahil karena kontennya bisa menyebar dengan cepat melalui berbagai platform.
Permasalahan ini semakin kompleks ketika kita melihat bagaimana masyarakat memperlakukan deepfake secara berbeda tergantung pada konteksnya. Kalau deepfake dipakai untuk menyindir politikus atau selebriti, maka dianggap lucu. Namun, ketika dipakai untuk melecehkan individu tertentu dalam konten pornografi, reaksi publik sering kali cenderung menyalahkan korban. Sikap permisif ini memperparah situasi, sebab ia memberikan ruang bagi para pelaku untuk terus melakukan kejahatannya tanpa konsekuensi yang berarti.
Korban penyalahgunaan deepfake itu bukan cuma mereka yang gambaran wajahnya dipakai dalam foto atau video jadi-jadian saja. Pengguna internet yang tidak mengenali teknologi deepfake adalah korban juga dalam kaitannya dengan propaganda dan penyesatan informasi seperti video iklan platform judi online yang seolah dibintangi oleh beberapa pesohor, atau video deepfake Presiden Prabowo yang dipakai oleh sejumlah penipu untuk mengelabui warga negara yang berharap mendapatkan bantuan.
Deepfake bisa menjadi hiburan, tapi tidak semua deepfake pantas dianggap sekadar lelucon. Semakin kita terbiasa menertawakan semua deepfake sebagai lelucon, semakin tumpul kepekaan kita terhadap bagaimana teknologi ini bisa dipakai untuk menipu, mengeksploitasi, dan bahkan menghancurkan hidup seseorang.
Kita harus lebih kritis dalam mengonsumsi konten digital dan lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Deepfake bukan cuma soal kecanggihan AI, tetapi juga soal bagaimana kita memaknai realitas digital. Kalau kita terus menertawakannya tanpa memahami bahaya yang mengintai, kita cuma akan menjadi bagian dari masalah saja.
Di tengah masyarakat yang masih gagap teknologi, peran negara dalam edukasi deepfake bukan sekadar penting, tapi mendesak. Kalau efektif, edukasi tersebut akan bisa membuat warga negara bersikap kritis pada saat menemukan konten-konten yang tidak lazim; dan punya kewaspadaan terhadap beberapa ciri konten hasil deepfake.
Deepfake tak akan berhenti berkembang. Kita harus lebih kritis dalam memilah, apakah kita sedang dihibur atau dieksploitasi?
Pertama kali diterbitkan di Arina.id