Google mencabut komitmennya untuk menghindarkan diri dari pengembangan artificial intelligence (AI) ke arah persenjataan atau teknologi yang akan melukai manusia. Ini adalah gelagat yang menunjukkan industri beserta para pemilik modalnya semakin mendekatkan AI dengan mesin perang.
Pada Juni 2018, lewat pernyataan Sundar Pichai, Google berjanji bahwa teknologi AI-nya tidak akan digunakan untuk persenjataan dan pengawasan. Pernyataan itu muncul sebagai respons terhadap protes ribuan karyawan Google pada April 2018. Para karyawan Google menolak keterlibatan perusahaan dalam Project Maven, sebuah program Departemen Pertahanan AS yang menggunakan AI untuk menganalisis rekaman drone militer.
Enam tahun kemudian, 4 Februari 2025, Google mengingkari janji itu, dengan mengubah pedoman etika pengembangan AI-nya. Dalam pedoman AI terbaru Google, bagian “AI applications we will not pursue”—yang sebelumnya mencantumkan larangan penggunaan AI untuk senjata dan teknologi yang menyebabkan cedera—sudah dihapus.
Keputusan ini bukan sekadar perubahan kebijakan internal sebuah perusahaan. Langkah ini memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar dalam perkembangan AI secara global.
Pertama, Google adalah salah satu pemimpin global dalam AI. Ketika Google membuat perubahan kebijakan terkait AI, dampaknya tidak terbatas pada perusahaannya sendiri, tetapi juga akan berdampak di industri teknologi global.
Kedua, Google memang bukan perusahaan teknologi pertama yang mendekatkan AI ke industri militer namun, dengan infrastruktur dan sumber daya besar yang dimilikinya, Google bisa mempercepat adopsi AI dalam militer dan pengawasan. Kalau perusahaan sebesar Google mulai bekerja sama dengan militer, ini bukan sekadar perubahan kebijakan, tetapi pergeseran kekuatan dalam dinamika global.
Ketiga, keputusan Google akan menciptakan efek domino di industri teknologi. AI militer yang sebelumnya dianggap tabu, kini bisa menjadi industri yang lebih terbuka dan agresif.
Keputusan Google ini menjadi tanda bahwa AI sedang memasuki fase baru, di mana batas antara teknologi sipil dan militer semakin kabur. Selama ini, perang adalah keputusan yang dibuat oleh manusia—dengan segala pertimbangan politik, moral, dan etis yang menyertainya. Tetapi dengan keterlibatan AI, banyak aspek peperangan bisa beralih ke mesin.
AI bukan lagi sekadar alat bantu dalam perang. Kini, ia dapat mengambil peran sebagai pengambil keputusan—mengidentifikasi target, mengendalikan drone, bahkan menentukan siapa yang harus diserang. Bagi kekuatan militer, efisiensi yang ditawarkan teknologi ini memang terasa menggoda; tetapi ada harga yang harus dibayar. Ketika algoritma menggantikan manusia dalam mengambil keputusan paling fundamental dalam peperangan, kita harus bertanya: apakah kita siap menyerahkan hidup dan mati ke kode komputer?
Kalau AI bisa menjalankan operasi militer secara mandiri, maka biaya politik bagi negara yang melancarkan perang akan jauh berkurang. Perang bisa dijalankan dengan lebih murah, tanpa perlu banyak pasukan manusia yang dikirim ke medan tempur. Ini bukan lagi skenario fiksi ilmiah. Di beberapa negara, drone otonom sudah mulai diuji untuk misi yang sebelumnya cuma bisa dilakukan oleh tentara.
Bukan cuma perang yang berubah. Pengawasan juga bisa meningkat ke level yang jauh lebih dalam. AI memungkinkan negara untuk mengawasi warganya dengan presisi yang belum pernah ada sebelumnya.
Teknologi ini bisa digunakan untuk mengenali wajah di ruang publik, melacak pergerakan individu, dan bahkan menganalisis pola komunikasi untuk mengidentifikasi siapa yang dianggap "berisiko" terhadap stabilitas negara. Bagi rezim otoriter, ini adalah alat kontrol yang sangat efektif. Bagi masyarakat yang menghargai kebebasan, ini adalah ancaman yang nyata.
Pergeseran sikap Google ini juga mencerminkan ketegangan geopolitik yang semakin meningkat. Amerika Serikat (AS) menghadapi persaingan ketat dengan Tiongkok dalam pengembangan AI, dan militerisasi AI bisa menjadi faktor kunci dalam perlombaan kekuatan global. Kalau AS tertinggal, dominasi teknologi bisa jatuh ke tangan lawan geopolitiknya.
Keputusan Google ini adalah bagian dari strategi AS dalam persaingan teknologi global. Dengan menghapus larangan AI dalam militer, Google secara tidak langsung menyesuaikan diri dengan kepentingan nasional AS. Pada saat teknologi AI menjadi senjata utama dalam perang geopolitik, keputusan ini bukan sekadar kebijakan korporasi, tetapi sebuah langkah strategis dalam pertarungan antara kekuatan dunia.
Penglumrahan AI dalam mesin dan strategi perang ini juga menghadirkan dilema bagi negara-negara lain yang berada di luar orbit kekuatan besar. Kalau AI menjadi standar dalam peperangan dan pengawasan, negara-negara berkembang akan menghadapi pilihan sulit: ikut serta dalam tren ini atau tertinggal. Mereka yang tidak punya akses ke teknologi AI militer bisa menjadi semakin rentan terhadap intervensi dari negara yang lebih maju. Sementara itu, mereka yang mengadopsinya bisa terjebak dalam eskalasi perlombaan senjata AI yang tidak punya akhir yang jelas.
Pertanyaannya: apakah ini arah yang benar bagi dunia? Filsuf Heidegger pernah memperingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat yang digunakan manusia, tetapi juga sesuatu yang membentuk cara kita memahami dunia. Ketika AI semakin menjadi bagian dari strategi perang dan kontrol sosial, kita berisiko melihat konflik bukan lagi sebagai tragedi kemanusiaan, tetapi sebagai urusan algoritma yang berjalan secara otomatis.
Apa yang hari ini masih tampak sebagai keputusan bisnis bisa menjadi awal dari perubahan besar dalam cara perang dan kekuasaan bekerja. Kalau AI terus diarahkan untuk mengambil alih keputusan strategis, kita berisiko memasuki era ketika algoritma bukan hanya sekadar alat, tetapi pemegang kendali utama.
Ketika Google menghapus batasan AI dalam perang dan pengawasan, mereka bukan hanya mengubah arah kebijakan perusahaan—mereka sedang mengubah arah dunia. Kalau AI menjadi algojo dalam perang dan menjadi mata yang tidak pernah tidur dalam pengawasan, maka masa depan bukan lagi tentang seberapa canggih teknologi ini, melainkan siapa yang menggunakannya.
Masa depan AI bukan cuma soal kecerdasan buatan. Ini soal siapa yang memiliki kendali. Kalau kita diam, kita menyerahkannya kepada mereka yang punya kuasa. Tetapi kalau kita mempertanyakan, mengkritisi, dan menuntut transparansi, mungkin kita masih bisa memastikan bahwa teknologi tetap berada di tangan yang benar.
Ini bukan sekadar tentang Google. Ini tentang kita semua.
Pertama kali terbit di Arina.id